SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG NAHDLATUL 'ULAMA KECAMATAN SEMIN GUNUNGKIDUL

Monday 9 December 2013

Cara Rasulullah Hadapi Dedengkot Kafir

Tahun 630 masehi merupakan tahun mencekam bagi kaum musyrikin Quraisy di Makkah. Perjanjian Hudaibiyah yang mereka rusak dengan sendirinya mengakhiri kesepakatan genjatan senjata dengan kaum Muslimin di Madinah. Kini sepuluh ribu pasukan dari Madinah telah siap menyerbu Makkah.

Abu Sufyan, pemimpin tertinggi musyrikin Quraisy, adalah orang yang paling diresahkan dengan kondisi ini. Ia sadar kekuatan umat Islam berubah luar biasa dahsyat dibanding 10 tahun lalu. Rencana memperbaiki pelanggaran berat atas perjanjian itu pernah ia upayakan, tapi gagal.

Benar bahwa semua orang kafir Quraisy dilanda ketakutan. Tapi Abu Sufyan pastilah orang yang paling terpukul. Di kalangan masyarakat kota suci, dia adalah bangsawan terhormat. Wibawanya menjulang tinggi. Sehari-hari ia dielu-elukan sebagai tokoh yang gagah berani. Nah, di depan kekalahan peristiwa fathul makkah (pembebasan Kota Makkah) serentetan nama besarnya musnah. Sekarang Abu Sufyan tak hanya takut melainkan wajah mulianya juga serasa diinjak-injak.

Rupanya Rasulullah peka dengan suasana batin Abu Sufyan. Pidato Rasulullah di hadapan penduduk Makkah menyebut nama dedengkot pasukan musuh tersebut. “Barangsiapa masuk ke dalam Masjidil Haram, dia akan dilindungi. Barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan, dia akan dilindungi,” tegasnya.

Alangkah bahagianya Abu Sufyan mendengar pengumuman ini. Tak tanggung-tanggung, Rasulullah seolah menyejajarkan rumahnya dengan Masjidil Haram. Mungkin karena sebab inilah Abu Sufyan tak lagi canggung memeluk Islam.

Sejak saat itu satu-persatu keluarga Abu Sufyan pun mengikuti jejaknya menjadi muallaf. Bahkan anaknya, Muawiyah bin Abu Sufyan, beberapa saat kemudian diangkat oleh Nabi sebagai salah seorang pencatat wahyu. Tak ketinggalan, masyarakat Quraisy yang dulu di bawah kekuasaan Abu Sufyan pun beramai-ramai menyatakan keislamannya.

Para sejarawan mencatat, fathul makkah merupakan peristiwa monumental yang muncul dalam sejarah umat Islam tentang etika peperangan. Kekuatan politik yang mapan sama sekali tak menggerakkan hati Nabi untuk menjadikannya sebagai momen pelampiasan dendam. Hasilnya, pertumpahan darah tak terjadi dan kejayaan umat Islam pun semakin gemilang. (Mahbib Khoiron)
Read more ...

Sejarah Tak Tertulis dalam "Sang Kiai"

Surabaya, NU Online
Film "Sang Kiai" dibuka dengan seorang anak yang diantar ayahnya hendak mendaftar masuk Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, untuk menuntut ilmu agama dan sang ayah berkata, "Saya tidak memiliki apa-apa untuk membayar masuk pesantren".

Langsung saja santri penerima pendaftaran pun menolak keinginan ayah itu, karena tidak memiliki kekayaan berupa hasil bumi untuk disetorkan ke pesantren sebagai sumbangan wali santri untuk menopang kebutuhan konsumsi di pesantren itu.

Mengetahui hal itu, pengasuh pesantren itu Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari langsung menepuk bahu santrinya, "Jangan halangi anak untuk menuntut ilmu. Silakan masuk ke pondok, walaupun tidak memiliki apa-apa".

Itulah sepenggal pernyataan bijak Sang Kiai yang membuat si ayah miskin yang tidak memiliki kekayaan hasil bumi terperangah dan kagum.

Ya, siapa pun yang ingin menuntut ilmu agama kalau orang tuanya tak mampu, dipersilakan masuk ke Tebuireng.

Kendati menggambarkan kehidupan santri bersarung di pondok pesantren itu, sang sutradara Rako Prijanto juga menampilkan unsur "entertainment" tentang percintaan ala santri dan peran perempuan di belakang layar dalam pergolakan merebut kemerdekaan.

Adalah santri bernama Harun (diperankan Adipati Doelken) dan santriwati bernama Sarinah (diperankan Meriza Febriani) yang saling jatuh cinta pada pandangan pertama.

Kisah yang tak kalah romantisnya dengan film lain itu ternyata diketahui oleh Kiai Hasyim Asy'ari. "Sudah sana, kamu besok ke rumahnya. Nanti, aku yang melamarnya," katanya disambut sorak kegirangan Harun.

Sosok Harun dalam film Sang Kiai itu mungkin imajiner, tapi Harun menggambarkan sejarah tak tertulis tentang siapa yang membunuh Brigadir Jenderal AWS Mallaby di Jembatan Merah, Surabaya.

Dalam film itu, Harun yang merupakan anggota Laskar Hizbullah dari Jombang (santri Tebuireng) tampak mendatangi Brigjen Mallaby di dalam mobilnya, lalu menembaknya dari jarak sangat dekat hingga tewas.

Suara tembakan itu didengar pengawal sang jenderal yang kebetulan berada di depan mobil itu, lalu sang pengawal berbalik ke belakang mobil dan melontarkan granat di bawah mobil itu, sehingga Harun yang bersembunyi di balik mobil sang jenderal pun tewas di tempat kejadian perkara (TKP).

Sosok Harun itu mengoyak lembaran pembelajaran sejarah yang sampai saat ini masih misteri, seperti misteri siapa sang pahlawan yang nekat naik Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit) dan merobek bendera warna biru pada bendera Bangsa Belanda (merah, putih, biru).

Namun, cerita yang berkembang di masyarakat Mojokerto dan Jombang memang mengarah kepada anggota Laskar Hizbullah yang membunuh Brigjen AWS Mallaby, meski sulit terungkap nama anggota Laskar itu, apakah dari Jombang atau Mojokerto.

Jadi, santri Tebuireng yang membunuh Brigjen AWS Mallaby adalah mozaik sejarah tak tertulis yang ditemukan dalam versi sutradara, Rako Prijanto.

"Saya membuat film itu selama tiga tahun, saya mengalami kesulitan, karena bahannya juga sulit dilacak, karena itu saya membaca disertasi tentang KH Hasyim Asy'ari, saya melakukan survei dengan mewawancarai beberapa saksi sejarah, dan saya pun tinggal beberapa waktu di Tebuireng," kata Rako dalam bedah film di Yayasan Khadijah Surabaya, 18 Mei.

Ya, film "Sang Kiai" mengungkap sejarah tak tertulis, meski "sejarah" itu belum faktual betul, karena santri atau kiai itu sangat ikhlas dalam berjuang, sehingga catatan tertulis dalam sejarah pun nyaris tak ada atau sulit dilacak.

Peran perempuan
Film yang berdurasi 120 menit itu juga menampilkan fakta yang tak tertulis dalam sejarah tentang peran perempuan di belakang layar yang justru signifikan dalam perjuangan merebut kemerdekaan.

"Setelah tiga kali nonton film itu, saya merasakan betul bahwa di belakang tokoh besar selalu ada perempuan perkasa yang memberi semangat untuk komitmen pada cinta Tanah Air dan membelanya," kata Sekjen DPP PKB HM Imam Nahrawi di Surabaya, 1 Juni lalu.

Ya, ada sejumlah orang dekat Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari yang juga mewarnai film itu, seperti KH Wahid Hasyim (diperankan Agus Kuncoro) dan Nyai Kapu (diperankan Christine Hakim) yang mewakili sosok istri sang kiai bernama Masruroh dari Desa Kapurejo, Kediri.

Bahkan, mantan Presiden KH Abdurrahmad Wahid alias Gus Dur juga ditampilkan secara sekilas dalam film itu, tentu saat Gus Dur masih kecil dan dibawa sang nenek untuk bersembunyi ke kampung halamannya di Kediri di tengah medan perjuangan.

Saat itu digambarkan tentara Jepang menyerbu Tebuireng dan menembakkan senjata karena para santri tidak mau memberi tahu dimana keberadaan Sang Kiai.

Jepang menuduh KH Hasyim Asy'ari menghasut para santri untuk melawan Nippon (tentara Jepang) dengan menyulut kerusuhan di Cukir, sebuah wilayah pabrik tebu di sekitar Tebuireng, Jombang.

Saat tentara Jepang mengamuk dengan cara menembakkan senjata ke arah pondok, Hasyim Asy'ari pun keluar dari ruangan dengan didampingi orang dekatnya KH Wahid Hasyim.

"Saya Hasyim Asy'ari yang kalian cari," kata Asy'ari dengan lantang menggunakan sorban dan pakaian serba putih dengan didampingi puluhan santrinya.

Pimpinan tentara Jepang meminta Kiai Hasyim dibawa untuk ditahan, tapi semua santri melakukan perlawanan.

Perlawanan tak seimbang, karena tentara Jepang menggunakan popor senjata untuk memukuli dan menginjak-injak para santri sehingga banyak yang berdarah-darah mempertahankan sang kiai.

Akhirnya, Sang Kiai Hasyim Asy'ari tak tega melihat santrinya "digebuki" dan "ditendangi", maka sang kiai pun membiarkan dirinya dibawa tentara Jepang dengan menggunakan truk ke penjara untuk ditahan.

Di tahanan melalui seorang penerjemah, sang kiai Hasyim Asy'ari diinterogasi untuk mengakui kesalahannya dan tunduk pada perintah Jepang serta mau melakukan "Seikerei" (menyembah Dewa Matahari).

Saat interogasi berlangsung, azan terdengar mengumandang. Hasyim dengan santainya tanpa takut pun berdiri meninggalkan komandan tentara Jepang yang sedang menginterogasi serta penerjemah yang seorang Muslim.

"Kalau kamu seorang Muslim saat mendengarkan azan harus tinggalkan semua kegiatan. Itu adalah panggilan Allah," kata Hasyim kepada sang penerjemah.

Hasyim Asy'ari pun melenggang pergi untuk shalat. Si interogator Jepang dan penerjemah terbengong-bengong melihat sikap religius Hasyim. Sikap segera dalam memenuhi panggilan Allah (azan) itu juga ditunjukkan sang kiai saat sakit.

Dalam waktu yang sama, para santri Tebuireng pun tak tinggal diam, apalagi saat mengetahui Sang Kiai disiksa tentara Jepang dengan dipukuli tangannya dengan palu dan suaranya disiarkan lewat pengeras suara. "Allah... Allah....," begitu suara sang kiai yang terdengar.

Keadaan itu memaksa para santri mengupayakan pembebasan sang kiai dengan unjuk rasa hingga jatuh korban, kemudian mereka pun melakukan upaya damai dengan membaca shalawat di depan penjara hingga akhirnya Jepang memindahkan sang kiai ke penjara di Mojokerto, namun para santri pun berbondong-bondong ke Mojokerto.

"Saya titip bapakmu, kabari segera kondisi bapakmu ya," kata Nyai Kapu kepada anaknya KH Wahid Hasyim yang hendak ke Jakarta bersama KH Wahab Chasbullah dari Pesantren Denanyar, Jombang untuk berunding dengan petinggi militer Jepang.

Ya, pendudukan Jepang ternyata tidak lebih baik dari Belanda. Jepang mulai melarang pengibaran bendera merah putih, melarang lagu Indonesia Raya dan memaksa rakyat Indonesia untuk melakukan Sekerei. Itulah yang ditentang KH Hasyim Asyari, karena tindakan itu menyimpang dari akidah Islam yang hanya menyembah Allah SWT.

Tindakan yang berani itulah yang membuat Jepang menangkap KH Hasyim Asyari, namun ikhtiar diplomatis dari anaknya, KH Wahid Hasyim, tak sia-sia. Sang Kiai Hasyim Asy'ari pun dibebaskan dan para santri pun gembira menyambut di depan pintu gerbang penjara dengan melantunkan shalawat. Nyai Kapu pun merawat luka-luka sang kiai dengan sabar.

Perawatan sang kiai itu dilakukan Nyai Kapu sambil berdialog untuk menyemangati terus, termasuk ketika sang kiai sakit dan disalahpahami santrinya bernama Harun, karena sang kiai dianggap mengikuti keinginan Jepang untuk menyerukan masyarakat menanam hasil bumi, lalu hasilnya disetorkan ke Jepang.

Bahkan, Harun pun memilih untuk keluar dari pesantren, karena sang kiai Hasyim Asy'ari membiarkan KH Zaenal Mustofa yang menentang penyetoran hasil itu dipenggal kepalanya oleh tentara Jepang, apalagi sang kiai juga memenuhi keinginan Jepang untuk mengizinkan santri berlatih militer sebagai bagian dari tentara Jepang, meski keinginan keluar dari pesantren itu sempat dicegah perempuan yang juga istri Harun sendiri, bahkan temannya.

"Tidak semua orang tahu, bapak (panggilan Nyai Kapu kepada suaminya) membiarkan pemengggalan Kiai Zaenal Mustofa, karena setuju dengan sikapnya. Bapak juga mengizinkan santri dilatih militer Jepang bukan untuk ikut Jepang, tapi membentuk laskar tersendiri, yakni Hizbullah. Laskar yang kelak dibutuhkan saat melawan penjajah," ucap Nyai Kapu.

"Fardlu Ain"

Jepang kalah perang, Sekutu mulai datang. Soekarno sebagai presiden saat itu mengirim utusannya ke Tebuireng untuk meminta Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari untuk membantu mempertahankan kemerdekaan.

Sang Kiai Hasyim Asyari menjawab permintaan Soekarno dengan mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang akhirnya mendorong barisan santri dan massa penduduk Surabaya yang didukung pemuda dari berbagai Tanah Air pun berduyun duyun tanpa rasa takut melawan sekutu di Surabaya.

Gema Resolusi Jihad yang intinya meneguhkan bahwa membela Tanah Air adalah "fardlu ain" (kewajiban individu) dalam radius tertentu itu pun menjadi semangat spiritual keagamaan membuat pemuda-pemuda Indonesia berani mati.

Para santri yang sebelumnya telah terlatih militer oleh tentara Jepang pun atas ridho Hasyim Asy'ari pun pergi ke Surabaya untuk berperang melawan tentara sekutu. Laskar Hizbullah bersama santri dan masyarakat selanjutnya tergambarkan dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya yang berujung pada tewasnya Brigjen AWS Mallaby.

Resolusi Jihad itu pun merupakan satu fakta lagi dari sejarah yang tak tertulis, karena sejarah lebih menggambarkan semangat Arek-Arek Suroboyo dalam Pertempuran 10 November 1945 yang membuat tentara Sekutu akhirnya bertekuk lutut, meski Surabaya sempat dibombardir akibat tewasnya jenderal terbaik Sekutu itu.

"Menurut saya, film Sang Kiai yang dapat ditonton khalayak umum di bioskop mulai 30 Mei 2013 itu secara umum mengajarkan pentingnya tiga unsur penting yakni kearifan, cinta, dan politik," ujar warga Surabaya, Arfani.

Menjadi seorang pemimpin, katanya, haruslah arif dan penuh cinta ketika berkuasa, namun juga harus mampu menguasai ilmu perpolitikan agar tidak terjerumus dan dipolitisasi oleh pihak lain.

"Itulah yang dapatkan dari diri Sang Kiai. Beliau arif, cinta kepada keluarga, santri, dan masyarakatnya. Lebih dari itu, beliau memiliki ilmu politik dahsyat yang membuat Belanda, Jepang, dan Inggris pun ampun-ampun," ujarnya.

Hal senada diungkapkan aktris ternama Christine Hakim yang cukup piawai memerankan Nyai Kapu alias Nyai Masruroh, meski dia berasal dari Jambi, namun dia pun menyempatkan diri berkunjung ke Desa Kapurejo di Kediri yang merupakan daerah kelahiran istri dari KH Hasyim Asy'ari itu.

Didampingi sutradara Rako Prijanto dan aktor Ikranegara (pemeran KH Hasyim Asy'ari) dan Agus Kuncoro (pemeran KH Wahid Hasyim) saat bedah film di hadapan ratusan pelajar SMP-SMA di Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial NU (YTPSNU) "Khadijah" Surabaya, ia menganggap Mbah Hasyim tidak hanya menderita akibat penjajahan, melainkan juga kelaparan akibat penjajah meminta hasil bumi kepada pribumi.

"Buktinya, Nyai Kapu pernah menjual kain batik untuk membeli beras. Saya kira, Mbah Hasyim bukan hanya milik warga NU, melainkan milik bangsa dan negara, bahkan dunia, karena kekuatan angkatan perang penjajah yang bersenjata lengkap itu harus tunduk kepada para santri Mbah Hasyim yang bersenjata ala kadarnya," paparnya.

Selain itu, Mbah Hasyim mengajarkan jihad dalam arti yang benar dan utuh. "Jihad yang bukan hanya membela agama, tapi juga membela Tanah Air itu membuat kita bisa bangga jadi orang Indonesia. Ya, keberadaan negara juga penting untuk bisa bebas mengamalkan agama," urai aktris Indonesia pertama yang main film Hollywood berjudul 'Eat Pray Love' bersama artis Julia Roberts di Bali itu.

Ya, Sang Kiai Hasyim Asy'ari konsisten menerapkan Pancasila. Ia amalkan sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila kelima (Keadilan Sosial) sekaligus, bukan seperti FPI atau MUI yang gasak sana, gasak sini.

Sang Kiai Hasyim Asy'ari memandang kemaksiatan sebagai ladang dakwah dan jihad ekonomi, di saat Tebuireng penuh dengan pelacuran dan perjudian, dia bukan lantas menghancurkan tempat-tempat pelacuran dan perjudian, tapi dia dakwahkan bahaya perjudian dan memberikan solusi ekonomi berupa perdagangan kepada penduduk setempat agar terentas dari pelacuran. Pesantrennya memiliki instrumen ekonomi.

Ia juga pengamal sila ketiga (persatuan) dengan nasionalisme dalam semangat antipenjajahan. Hubbul wathan minal iman, membela negara adalah bagian dari iman. Santri-santrinya diwajibkannya ikut melawan penjajah baik secara langsung maupun tidak langsung. Kiai Hasyim pun aktif berjuang, bahkan sempat dipenjara beberapa lama.

Sila keempat Pancasila juga diamalkan yakni penghormatan terhadap musyawarah dan pluralisme dalam perwakilan. Kiai Hasyim menentang Raja Saudi yang tidak memperbolehkan Islam selain Sunni untuk pergi ke Mekkah. Bagi Kiai Hasyim, semua jenis tafsiran Islam harus dihormati.

Soal sila pertama tak perlu diragukan lagi, karena Mbah Hasyim tidak hanya sangat menghormati panggilan Allah lewat azan, namun ia juga rela dipenjara karena mempertahankan akidahnya, bahkan nyawa pun siap dikorbankan untuk itu.

Tidak hanya tegas dalam berbicara, Mbah Hasyim juga merupakan sosok yang berani dalam tindakan. "Kita harus malu dengan Mbah Hasyim, karena apa yang kita lakukan sekarang, ternyata tidak ada apa-apanya dengan apa yang beliau lakukan," tutur Christine Hakim yang meraih enam Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik itu.

Redaktur: Mukafi Niam
Sumber   : Antara
Read more ...

"Sang Kiai" Film Terbaik FFI 2013, Wakili Indonesia di Academy Award

Jakarta, NU Online
Malam Anugerah Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2013 menjadi malamnya film "Sang Kiai" yang menjadi menjadi Film Bioskop Terbaik.

Kategori pemenang paling bergengsi itu diumumkan di penghujung acara puncak FFI 2013 di Marina Convention Centre, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu malam (7/12).

"Sang Kiai" bersaing dengan film lainnya yang juga meraih banyak penghargaan seperti "Belenggu" dan "Habibie dan Ainun".

Berikut ini daftar pemenang FFI2013 dari berbagai kategori:

Pemenang Film Bioskop Terbaik: Sang Kiai

Pemenang Pemeran Pendukung Pria Terbaik : Adipati Dolken - Sang Kiai

Pemenang Penata Efek Visual: Eltra Studio – Moga Bunda Disayang Allah

Pemenang Pemeran Pendukung Wanita: Jajang C. Noer - Cinta Tapi Beda

Pemenang Penata Artistik Terbaik: Iqbal – Belenggu

Pemenang Penata Musik Tebaik: Aksan Sjuman - Belenggu

Pemenang Penyunting Gambar Terbaik: Cesa David Luckmansyah – Rectoverso

Pemenang Penata Busana Terbaik: Retno Ratih Damayanti – Habibie & Ainun

Pemenang Penghargaan Khusus Film Dokumenter Pendek Terbaik: Epic Java

Pemenang Film Pendek Terbaik: Simanggale

Pemenang Film Animasi Pendek Terbaik: Sang Supporter

Pemenang Penata Suara Terbaik: Khikmawan Santosa, M Ikhsan, Yusuf A Pattawari - Sang Kiai

Penata Sinematografi Terbaik : Yudi Datau-Lima Sentimeter

Penulis Skenario Terbaik: Ginatri S Noer & Ifan Ardiansyah Ismail – Habibie & Ainun

Pemenang Penulis Cerita Asli Terbaik: Anggoro Saronto - Sang Pialang (Garuda Nusantara Sinema)

Pemenang Film Dokumenter Pendek Terbaik - Split Mind (FFTV - IKJ)

Pemenang Film Dokumenter Panjang Terbaik - Denok & Gareng (Dwi Susanti Nugraheni, Jawa Dwipa Film)

Pemenang Pemeran Utama Pria Terbaik: Reza Rahadian - Habibie & Ainun

Pemenang Pemeran Utama Wanita Terbaik: Adinia Wirasti - Laura & Marsha

Pemenang Sutradara Terbaik: Rako Prijanto - Sang Kiai

Academy Award

Prestasi "Sang Kiai" sebagai film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2013 akan menjadi perwakilan Indonesia di ajang Academy Awards 2014 kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.

Film berkisah tentang seorang ulama KH Hasyim Asyari itu meraih empat Piala Citra di malam puncak FFI 2013 di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu malam (7/12).

Sejatinya, film yang dibintangi oleh pemeran utama Ikranagara tersebut mendapat persaingan ketat dari film lainnya seperti "Habibie dan Ainun" (raihan tiga Piala Citra) serta "Belenggu" (dua Piala Citra). Terlebih film-film rival itu masuk ke dalam sejumlah nominasi kategori penghargaan.

Contohnya, "Habibie dan Ainun" masuk ke dalam delapan nominasi sedangkan "Belenggu" lebih banyak lagi dengan 13 nominasi.

Empat kategori nominasi yang dimenangi "Sang Kiai" yaitu Film Bioskop Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Adipati Dolken), Penata Suara Terbaik (Khikmawan Santosa, M Ikhsan dan Yusuf A Pattawari) serta Sutradara Terbaik (Rako Prijanto).

Tahun ini, FFI menyeleksi sejumlah judul untuk meraih Piala Citra di masing-masing kategori. Di antaranya sebanyak 53 judul film bioskop, 80 judul film dokumenter durasi pendek, 21 judul film dokumenter durasi panjang, 119 judul film durasi pendek, 75 judul film televisi dan 93 judul film animasi durasi pendek. (antara/mukafi niam)
Read more ...

IPNU-IPPNU Yogyakarta Diminta Fokus Kaderisasi

Yogyakarta, NU Online
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Daerah Istimewa Yogyakarta diharapkan bekerja maksimal mengatasi persoalan kaderisasi di wilayahnya. Pasalnya, permasalahan pengaderan hampir dihadapi setiap IPNU-IPPNU di tingkat cabang dan wilayah.

Seruan ini disampaikan Kiai Muhammad Mustafid, pengasuh Pesantren Aswaja Nusantara, Mlangi, Yogyakarta, dalam Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) IPNU-IPPNU DI Yogyakarta, yang mengangkat tema “Mengawal Pendidikan Karakter Menuju Pelajar Istimewa”, Ahad (8/12).

Di hadapan forum, Mustafid mengatakan, akar permasalahan kaderisasi terletak pada keluangan anak muda NU untuk fokus pada upaya mencetak generasi penerus ini. Menurut dia, kaderisasi yang minim menimbulkan persoalan lanjutan, seperti manajemen, basis finansial, dan sumber daya manusia.
Mustafid menuturkan, hal pokok yang perlu juga dilakukan adalah sinergi kerja antarpengurus IPNU-IPPNU, termasuk dengan badan otonom-badan otonom yang dimilikinya. Untuk melaksanakan semua itu, pengurus harus fokus.

“Fokus dalam melakukan kaderisasi menurut saya strategis. Meskipun anda harus sabar karena hasilnya tidak bisa langsung dipetik. Ini adalah sebuah investasi masa depan,” tambahnya.

Ketua Pompinan Wilayah IPPNU DI Yogyakarta Arin Mamlakah berharap Rakorwil menghasilkan rumusan bersama, yakni menemukan jalan keluar bagi permasalahan pengkaderan. (Ahmad Syaefudin/Mahbib)
Read more ...

Tuesday 17 September 2013

KITAB FIQH MUHAMMADIYAH

BUKU KITAB FIQH JILID TELU, yang dikarang dan diterbitkan oleh MUHAMMADIYYAH bagian TAMAN PUSTAKA Djokjakarta, terbit tahun 1343 Hijriyyah.

setelah membaca buku tersebut.... DAPAT DISIMPULKAN antara NU dan Muhammadiyyah, dari sisi amaliyahnya itu dulunya sama. antara lain : 1. bacaan iftitah, 2. sholawat yang menggunakan SAYYIDINA, 3. dzikir setelah sholat, DLL.

1. dalam bab WACAN SHOLAT LAN MA'NANE halaman 25, bacaan IFTITAH-nya KABIROWWALHAMDULILLAHI KATSIRO.... bukan ALLOHUMMA BAA'ID....

2. pada halaman 26 Fatihah menggunakan BASMALAH....

3. dalam halaman 29, sholawat yang dibaca dalam tahiyyat menggunakan SAYYIDINA

semua itu dipertegas dalam BAB PIRANGANE RUKUNE SHOLAT halaman 31-33. kecuali masalah sholawat. di bab ini dijelaskan sholawat adalah allohumma sholli 'ala Muhammad. hemat saya, penjelasan itu sekedar menunjukkan bahwa bacaan sholawat itu cukup dengan ALLOHUMMA SHOLLI 'ALAA MUHAMMAD, bukan membid'ahkan sayyidina....

dipertegas lagi dalam rukun hutbah halaman 57, membaca sholawat menggunakan sayyidina.

4. di halaman 27 dijelaskan adanya QUNUT dengan Dow ALLOHUMMAHDINII.....

5. halaman 57 khutbah jum'at, dua kali.

6. dzikir ba'da sholat pada halaman 40-42, dengan bacaan sbb:

- astaghfirullohah adziim alladzii paar ilaaha illa huwal hayyul qoyyuum waatuubu ilaiih... 3 Kali

- allohumma antassalam.... 3 Kali

- subhaanalloh 33 Kali

- allohu Akbar 33 Kali

- alhamdulillah 33 kali

YANG MEMBUTUHKAN BUKUNYA SILAHKAN

KLIK DI SINI
Read more ...

Saturday 14 September 2013

Belajar dari KH Muntaha Al-Hafizh

Di antara deretan ulama di tanah air, nama KH Muntaha Al-Hafizh tentulah bukan nama yang asing. Ia adalah sosok di balik megahnya bangunanan Pondok Pesantren, sekolah SMA dan SMP Takhassus Al-Qur`an serta UNSIQ, Wonosobo, Jawa Tengah, yang sebelumnya bernama IIQ, sewaktu ia masih menjabat sebagai Rektor.
KH Muntaha Al-Hafidz lahir sekitar tahun 1910M di Kalibeber, Wonosobo. Ia adalah ulama Multidimensi yang mempunyai segudang ide dan pemikiran cemerlang yang bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi ulama lainnya.
Pertama, Ide Pendidikan. Dalam dunia pendidikan KH. Muntaha Al-Hafidz merupakan teladan karena keberhasilannya mengembangkan pendidikan di bawah naungan Yayasan Al-Asy`ariyyah. Yayasan tersebut saat ini menaungi berbagai jenjang pendidikan antara lain, Taman Kanak-Kanak (TK) Hj. Maryam, Madrasah Diniyah Wustho, 'Ulya dan Madrasah Salafiayah Al-Asy`ariyyah, SMP dan SMU Takhassus Al-Qur'an, SMK Takhassus Al-Qur`an, Universitas Sains Al-Qur`an (UNSIQ), khusus untuk Perguruan Tinggi UNSIQ ini di bawah naungan Yayasan Pendidikan Ilmu-Ilmu Al-Qur'an (YPIIQ) namun cikal bakalnya Pesantren Al Asy'ariyah. YPIIQ sendiri sebelumnya telah mendirikan Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) JawaTengah sebagai embrio dari UNSIQ. KH. Muntaha Al-Hafidz juga menjadi salah seorang pendiri bahkan memegang jabatan Rektor pada saat Perguruan Tinggi ini sebelum berubah menjadi universitas adalah merupakan bukti implementasi dari ide dan pemikirannya.
Implementasi dari ide dan pemikirannya di bidang pendidikan diwujudkan dengan memadukan antara pesantren yang notabene merupakan pendidikan non formal dan pendidikan formal sejak dari TK sampai Perguruan Tinggi.
Kedua, Ide Tentang Dakwah dan Sosial. Dalam bidang dakwah, dibentuk Korps Dakwah Santri (KODASA). Korps ini merupakan wadah untuk aktifitas santri Pondok Pesantren Al-Asy`ariyyah dalam menyiarkan Islam, baik yang diperuntukkan bagi kalangan santri (sesama santri) dalam rangka meningkatkan kualitas diri, maupun kepada masyarakat dalam bentuk pengabdian dan kepedulian pondok pesantren terhadap kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya di bidang sosial keagamaan. Adapun aktifitasnya, meliputi: bacaan shalawat, Qira'atul Qur'an, khitobah dengan menggunakan empat bahasa, yakni: bahasa Inggris,Arab dan bahasa Indonesia serta bahasa Jawa, juga Qosidah dan rebana yang merupakan kesenian bernuansa islami. Dalam bidang sosial, ia juga merintis berdirinya Pusat Pengembangan Masyarakat (PPM) bersama dengan Adi Sasono KH. MA. Sahal Mahfudz.
Ketiga, Ide Tentang kesehatan. Dalam bidang kesehatan, implementasi dari ide dan pemikirannya diwujudkan dalam pendirian balai pengobatan dan pendirian Pendidikan Akademi Keperawatan (AKPER). Akper ini sekarang berada di lingkungan Universitas Sains Al-Qur`an (UNSIQ) Wonosobo, Jawa Tengah. Karenanya institusi ini diberi nama AKPER UNSIQ. Selain itu, dibentuk Poliklinik Maryam. Poliklinik ini tidak hanya melayani santri dan mahasiswa saja, akan tetapi juga melayani masyarakat umum di sekitar poliklinik bahkan sering pula masyarakat dari daerah atau kecamatan lain yang memeriksakan kesehatannya di Poliklinik Maryam ini. Bahkan sebelumnya, ia telah merintis dan mendirikan Balai Kesehatan di Tieng, Kejajar, pada tahun 1986, yang disusul pula dengan pendirian Rumah Sakit Islam (RSI) Kabupaten Wonosobo.
Keempat Ide Tentang Pemikiran Islam, Ia juga tidak ketinggalan dalam memberikan ide dan pemikiran di bidang pemikiran Islam. Dalam bidang ini, ia membentuk "tim sembilan" untuk menyusn tafsil Al-Maudhu`i.
Dalam rangka menghadapi era globalisasi, KH. Muntaha Al-Hafidz memiliki ide dan pemikiran tentang perlunya penguasaan bahasa, yakni tidak hanya bahasa Indonesia dan bahasa Arab saja, melainkan juga bahasa Inggris, Cina, Jepang, dan lain-lain bagi para santri Al-Asy`ariyyah untuk bisa menjelaskan isi dan kandungan Al-Qur`an kepada masyarakat luas (internasional). Dan ide ini telah dipraktekan di Pondok Pesantren Al-Asyariyyah, juga di SLTP, SMU, dan SMK Takhassus Al-Qur'an, termasuk di dalamnya Universitas Sains Al-Qur`an.
Implementasi dalam bidang seni, terutama seni kaligrafi ia wujudkan dalam tulisan "Mushaf Al-Asy`ariyyah" (Al-Qur'an Akbar). Al-Qur'an ini memang berukuran besar, bahkan pada waktu dipublikasikan Al-Qur'an ini tercatat paling besar di dunia. Ukuran mushafnya 2 x 15 m pada saat kondisi tertutup dan berukuran 2 x 3 m dalam kondisi terbuka. KH. Muntaha Al-Hafidz adalah tokoh dan figur pemimpin yang patut untuk menjadi teladan. Aktifiatas, ide, dan pemikirannya selalu berorientasi ke masa depan. Sehingga santri-santrinya digembleng sedemikian rupa dengan harapan, di kemudian hari nanti mampu berinteraksi dengan komunitas masyarakat yang heterogin dan berbeda kondisi sosialnya.
Keseluruhan hidup Mbah Muntaha telah diabdikan untuk pencerahan dan pembebasan umat, baik melalui wadah pesantren yang ia warisi dari orang tuanya (KH. Asyari), maupun melalui Jami'iyyah NU yang telah dipilih sebagai medium perjuangannya. Di zaman kemerdekaan, perjuangan Mbah Muntaha selalu mengikuti ritme perjuangan NU. Di samping berjuang memanggul senjata dengan bergabung sebagai Laskar Hizbullah dan memimpin BMT (Barisan Muslimin Temanggung) sebuah laskar kerakyatan yang turut berjuang membela kemerdekaan. Ia juga aktif mengikuti gerakan NU.
Sewaktu NU melalui muktamarnya di Palembang memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan berdiri sebagai partai politik sendiri, sebagai akibat dari tindakan para politisi Masyumi yang berasal dari kalangan non pesantren terlalu meremehkan peran politisi dari pesantren. Ia pun terlihat aktif dalam memperjuangkan NU untuk berkiprah di masyarakat bahkan sempat ditunjuk menjadi anggota Konstituante mewakili NU Jawa Tengah sampai dibubarkannya majlis itu pada tanggal 5 Juli 1959. Kondisi itu itu terus berlangsung hingga tahun 1972 saat pemerintah orde baru menetapkan bahwa partai Islam harus berfusi dalam satu wadah partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan. Sebagai konsekuensi dari sikap NU yang harus mengikuti peraturan pemerintah walalupun secara politik sangat merugikan NU, Mbah Mun pun ikut terlibat aktif dalam Parta Persatuan Pembangunan. Kondisi itu berlangsung hingga dicanangkannya kembali ke Khittoh 1926.
Setelah sekian tahun bergulat dalam tandusnya lahan politik praktis, Mbah Mun kembali melirik kondisi pesantrennya yang terlihat belum begitu tampak kemajuannya. Kemudian Ia memilih untuk berpolitik secara substansial yaitu menggunakan jalur politik dengan tujuan membawa kemaslahatan umat yang lebih banyak. Dari perubahan sikapnya itu kemudian Ia menata pesantrennya dengan membenahi pola pengajarannya. Bahkan kemudian mendirikan dua sekolahan yaitu SMP dan SMA Takhassus Al-Qur'an yang berafiliasi kepada penajaman pemahaman Al-Qur'an bahkan pada gilirannya mendirikan Institut Ilmu Al-Qur'an sebagai wadah penggodokan sarjana Al-Qur'an yang mampu dalam pemahaman Ilmu Al-Qur'an dan umum. Dalam kaitan ini pula Mbah Mun tak kenal lelah meyakinkan berbagai pihak akan pentingnya pembenahan NU, mengingat posisinya yang strategis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Puncaknya Ia menghadiri Muktamar NU ke 27 di Situbondo yang diantaranya, memutuskan kembali ke Khittoh 1926. Fanatisme Mbah Mun terhadap NU ini dapat dipahami mengingat latar belakang Ia sebagai orang pesantren yang senantiasa memelihara ajaran pendahulunya dan perjuangan Ia dalam berbangsa dan bernegara melalui wadah NU.
Satu hal yang mungkin belum banyak terekam dalam sejumlah tulisan tentang Mbah Mun adalah tulisan (risalah) yang ditulis oleh Ia atau manuskrip serta gagasan dalam bentuk tulisan yang Ia sendiri turut memberikan sumbangan pemikirannya, belum banyak dipublikasikan. Padahal sebagai seorang Kyai yang multidimensi, termasuk kepiawaian Ia berbicara di depan orang banyak sebagai seorang orator dan mampu menghanyutkan pendengar ke arah isi pidatonya dengan disertai ilmu balaghohnya banyak disenangi oleh pendengar, serta jabatan yang Ia sandang baik formal maupun non formal, banyak tulisan Ia yang menunjukkan kepiawaian Ia dalam menyampaikan gagasan pikirannya, atau sekedar menyampaikan pesan kepada umatnya. Atau terkadang Ia menyuruh seseorang untuk menyusun suatu tulisan dengan yang dikehendaki Ia, dan terkadang Ia merestui suatu gagasan yang telah tersusun dalam bentuk buku yang memang sesuai dengan gagasan Ia, sebagai penghormatan karya dari orang tersebut serta sebagai dorongan untuk terus berkarya.
Hal ini hampir sama dalam khazanah kepustakaan Islam, misalnya gagasan seorang alim yang tertuang dalam bentuk tulisan Kitab Klasik (kuning) terkadang bukan dari tulisan tangannya sendiri, bahkan ditulis dari muridnya atau orang yang sengaja disuruh untuk menuliskannya. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Mbah Mun ini bisa menjadi konvensi bagi para Kyai maupun santri di daerah yang pesantrennya hendak eksis, bahwa di samping menguasai ilmu-ilmu keislaman dan juga ilmu umum, yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dituntut pula untuk trampil menyampaikan suatu gagasan lewat tulisan.

Ahmad Muzan
Direktur Islamic Homeschooling dan Sekolah Alternatif Fatanugraha Wonosobo
Read more ...

Tentang Bacaan شَيْءٌ لِّلهِ الفَاتِحَة

Dalam setiap acara tahlilan, dhiba’an dan barzanji seringkali kita jumpai seorang yang berlaku sebagai pemimpin berkata شيء لله الفاتحة. Entah kalimat itu disebutkan sebelum membaca al-Fatihah sebagai agenda pembukaan atau dibacakan setelah menyebutkan rentetan nama arwah yang akan do’akan.
Secara bahasa klimat شيء لله الفاتحة adalah dua kalimat yang berbeda. kalimat pertama terdiri dari شيء لله  yang bermakna bawa“Semua dilakukan karena Allah”  dan kalimat kedua adalah الفاتحة  yaitu al-Fatihah sebagai nama surat pembuka al-Qu’an. Oleh karena itu, jika digabungan maka kalimat شيء لله الفاتحة dapat diartikan bahwa ‘semua yang kita lakukan hanyalah karena Allah, (begitu juga dengan bacaan) al-fatihah’.Sebenarnya
tidak ada anjuran untuk mengucapkan kalimat tersebut, juga tidak ada larangan untuk meninggalkannya. Dalam Kitab Bughyatul Mustarsyidin terdapat pernyataan yang menyebutkan bahwa kalimat ”شيء لله الفاتحة" hanyalah sebuah tradisi,
يا فلان شيء لله غير عربية لكنها من مولدات أهل العرف
Hai Fulan, kalimat ”شيء لله" bukanlah bahasa arab, melainkan lahir dari sebuah tradisi.
Sedangkan sebuah tradisi bisa dijadikan hukum dengan catatan tidak bertentangan dengan Syari’at Islam yang berlandaskan Al Quran dan Hadits. Demikian dalam qaidah fiqhiyyah disebutkan:العادة محكمةKebiasaan atau tradisi itu bisa dijadikan landasan hukum .
(Pen. Fuad H Basya/Red. Ulil H)
 

Read more ...

Inilah 4 Rekomendasi Hasil Munas NU

Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) sudah menghasilkan beberapa rekomendasi. Rekomendasi-rekomendasi yang terkait dengan berbagai masalah bangsa ini juga sudah diberikan kepada Presiden SBY. Keempat rekomendasi yang ditetapkan pada Senin (17/9) tersebut antara lain;
A. Politik dan Persoalan Korupsi

Upaya-upaya penanggulangan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum berjalan dengan baik, karena aparatur yang bertugas untuk itu yaitu kepolisian dan kejaksaan, tidak menunjukkan keseriusan. Ketidakseriusan ini hanya dapat diatasi oleh lembaga yang berada di atas keduanya, yaitu Presiden. Presiden juga harus bertindak tegas terhadap aparat pemerintahan di bawahnya yang terlibat korupsi.

Rekomendasi :

1. Presiden harus segera menggunakan kewenangannya secara penuh dan tanpa tebang pilih atas upaya-upaya penanggulangan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintah, utamanya terkait dengan aparat pemerintahan yang terlibat korupsi.

2. Masyarakat agar berkontribusi aktif dalam upaya meruntuhkan budaya korupsi dengan memperkuat sanksi sosial terhadap koruptor, sehingga dapat menimbulkan efek jera dan juga efek pencegahan bagi tindakan korupsi berikutnya.

B.  Persoalan Pajak

Bahwa bagi umat Islam, pungutan yang wajib dibayar berdasarkan perintah langsung dari Al-Quran dan Hadits secara eksplisit adalah zakat. Sedangkan kewajiban membayar pajak hanya berdasarkan perintah yang tidak langsung (implicit) dalam konteks mematuhi penguasa (ulil ‘amri), Penguasa di dalam membelanjakan uang Negara yang diperoleh dari pajak berdasarkan kaidah fikih “tasharruful imam ‘alai ro’iyyah manuutun bil mashlahah al-raiyyah”, mesti mengacu pada tujuan kesejahteraan dan kemanusiaan warga Negara (terutama kaum fakir miskin).

Ketika ternyata bahwa uang negara yang berasal dari pajak tidak dikelola dengan baik atau tidak dibelanjakan sebagaimana mestinya bahkan terbukti banyak dikorupsi, maka muncul pertanyaan: apakah kewajiban membayar pajak oleh warga negara itu masih punya landasan hukum keagamaan yang kuat? Artinya masihkah menjadi wajib membayar pajak tersebut?

Rekomendasi :

1. Pemerintah harus lebih transparan dan bertanggungjawab terkait dengan penerimaan dan pengalokasian uang pajak, serta memastikan tidak ada kebocoran;

2. Pemerintah harus megutamakan kemashlahatan warga negara terutama fakir miskin dalam penggunaan pajak;

3. PBNU perlu mengkaji dan mempertimbangkan mengenai kemungkinan hilangnya kewajiban warga negara membayar pajak ketika pemerintah tidak dapat melaksanakan rekomendasi kedua poin di atas.

C.  International : Innocence of  Muslims

Akhir-akhir ini dengan alasan kebebasan berekspresi, muncul beberapa karya dalam media massa yang dirasakan melecehkan dan menodai simbol-simbol agama Islam. Sebagai reaksi terhadap hal itu, banyak dilakukan tindakan yang tidak terkendali dan merusak. Misalnya film The Innocence of Muslims, kartun Nabi Muhammad, dan novel The Satanic Verses. Hal semacam juga terjadi terhadap agama lain.

Rekomendasi

1. Lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan OKI membuat Konvensi yang mewajibkan semua orang untuk tidak melakukan tindakan yang melecehkan dan atau menodai simbol-simbol yang dihormati agama.

2. Umat Islam agar tidak mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan yang tidak terkendali dan destruktif oleh segala bentuk serangan seperti yang dilakukan pembuat film Innocent of  Muslims.

D. Pendidikan : Nilai-nilai Kepesentrenan dalam Kurikulum Pendidikan Karakter

Selama ini salah satu kelebihan yang dikenal dari nilai-nilai pendidikan pesantren adalah kemandirian peserta didik dalam menghadapi kehidupannya. Di sisi yang lain, sistem pendidikan pesantren juga terkenal dengan pendidikan karakter lewat keteladanan yang diberikan oleh kyai dan para guru kepada santri-santrinya. Di pesantren para santri juga dibiasakan hidup sederhana, mencukupkan diri, dengan sedikit bekal untuk belajar, jauh dari berkelebihan.

Rekomendasi

1. Merekomendasikan kepada pemerintah untuk meninjau ulang pendidikan karakter yang masih lemah dan belum menjadi kesadaran atau internalisasi nilai-nilai, serta belum berorientasi ke masa depan (mutu dan kepribadian unggul) bagi peserta didik, sehingga pendidikan karakter tidak bisa diaplikasikan dengan maksimal.

2. Lembaga-lembaga pendidikan diharapkan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan juga menanamkan kepada peserta didik karakter yang mulia, baik terkait hubungan dengan manusia (hablu minannas), dengan Allah (hablu minailah), dan dengan alam (hablum minal ‘alam).

3. Nilai-nilai kepesantrenan (kemandirian, keikhlasan, ketawadhu’an, dan hidup sederhana) itu sangat sesuai dengan semangat pasal 31 ayat (3) UUD 1945 tentang pendidikan yaitu iman, taqwa, dan akhlak mulia, oleh karena itu nilai-nilai tersebut dijadikan sebagai bagian pendidikan karakter dari sistem pendidikan nasional.

4. Pemerintah berkewajiban untuk melindungi para pendidik dalam menyelenggarakan pendidikan dan menjamin pendidik bisa berperan aktif untuk menjalankan pendidikan karakter.

5. Merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyempurnakan sistem ujian nasional (UN) agar dapat mengatasi kelemahan-kelemahan yang selama ini menghambat tercapainya standar kualitas pendidikan nasional yang diharapkan seperti pelanggaran dan kecurangan.

6. PBNU harus mendorong berkembangnya peraturan-peraturan daerah yang mempertimbangkan tradisi-tradisi lokal keagamaan agar menjadi spirit pendidikan. 
Read more ...

KH M.A. SAHAL MAHFUDH "Politik NU sebagai Siyasah 'Aliyah Samiyah"

Sebagaimana telah dimaklumi bersama, NU merupakan جمعيّة دينيّة إجتماعيّة (organisasi keagamaan yang bersifat sosial). Sebagai organisasi keagamaan Islam, tugas utama NU adalah menjaga, membentengi, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam menurut pemahaman أهل السّنّة والجماعة di bumi nusantara pada khususnya dan di seluruh bumi Allah pada umumnya.
Tugas ini tidaklah sederhana, di tengah-tengah era keterbukaan yang memberi peluang masuknya aliran-aliran dan kelompok-kelompok keagamaan yang cenderung memanfaatkan kebebasan untuk mencaci maki dan menyesat-nyesatkan (تضليل), bahkan menkafir-kafirkan (تكفير) terhadap pihak lain yang berbeda pemahaman keagamaan dengan dirinya. Padahal seharusnyalah era keterbukaan dan kebebasan membuat setiap kelompok semakin memantapkan sikap toleran (تسامح) dalam menyikapi perbedaan.
Alangkah dalamnya makna ungkapan Al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dalam kaitan ini:
مذهبنا صواب يحتمل الخطأ, و مذهب غيرنا خطأ يحتمل الصواب
(Pendapat saya benar namun mungkin memuat kesalahan, pendapat orang lain salah namun mungkin juga ada benarnya: Red)
Menghadapi kenyataan yang tidak menggembirakan tersebut, menjadi tugas PBNU untuk menggerakkan secara optimal perangkat organisasi yang terkait dengan fungsi menjaga, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam ASWAJA, seperti mendorong optimalisasi peran dan kinerja Lembaga Dakwah NU (LDNU), Lembaga Takmir Masjid NU (LTMNU) dan Lajnatut-Ta’lif wan-Nasyr NU (LTNNU). Dengan pendekatan حكمة dan موعظة حسنة dapat dipelihara kelangsungan ajaran ASWAJA, tanpa harus terlibat dalam tindakan-tindakan anarkhis yang sangat merugikan citra paham ASWAJA sebagai representasi ajaran Islam رحمة للعالمين.

Sebagai organisasi sosial (جمعيّة إجتماعيّة), NU harus mencurahkan perhatiannya secara serius pada bidang sosial, seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertanian dan lain-lain yang menjadi problem kehidupan sehari-hari warga, masyarakat dan bangsa.
Hal ini perlu diingatkan, menjelang tahun 2014 yang merupakan tahun politik bangsa kita, karena dikhawatirkan tidak sedikit pengurus NU di berbagai tingkatan yang memperlakukan NU seakan-akan sebagai sebuah partai politik (حِزْبٌ سِيَاسِيٌّ), yang bergerak pada tataran politik praktis alias politik kekuasaan.
Politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (low politics/سياسة سافلة) adalah porsi  partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sedangkan NU sebagai lembaga, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi (high politics/سياسة عالية سامية ), yakni politik kebangsaan, kerakyatan dan etika berpolitik.

Politik kebangsaan berarti NU harus إستقامة dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.
Etika berpolitik harus selalu ditanamkan NU kepada kader dan warganya pada khususnya, dan masyarakat serta bangsa pada umumnya, agar berlangsung kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara.

Dengan menjaga NU untuk bergerak pada tataran politik tingkat tinggi inilah, jalinan persaudaraan di lingkungan warga NU (أخوّة نهضيّة) dapat terpelihara. Sebaliknya,manakala NU secara kelembagaan telah diseret ke pusaran politik praktis, أخوّة نهضيّة akan tercabik-cabik, karenanya نعوذ بالله من ذلك !
Oleh karena itu, sinyalemen adanya Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah di beberapa daerah yang dicalegkan dan lain sebagainya, wajib mendapatkan respons yang sungguh-sungguh dari Rapat Pleno ini, sesuai dengan ketentuan AD/ART tentang larangan rangkap jabatan.

Kiranya inilah pesan dan arahan yang perlu kami sampaikan.
DR. KH. M. A. SAHAL MAHFUDH
Rais ‘Aam PBNU

*Sambutan dan Pengarahan Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) disampaikan pada Rapat Pleno PBNU tanggal 6-8 September 2013 di Pondok Pesantren UNSIQ Al-Asy’ariyah Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah
Read more ...

Sunday 1 September 2013

Mbah Salman, Mursyid Bersahaja nan Kharismatik

Duka masih menggelayuti lingkungan Pesantren Al-Manshur Popongan Tegalgondo Wonosari Klaten. Pengasuh pesantren tersebut, KH M Salman Dahlawi wafat, Selasa (27/8) pukul 17.45 WIB, dalam usia 78 tahun. Kepergiannya membawa duka yang mendalam bagi banyak pihak, khususnya bagi kalangan Jam’iyyah Thariqah
Mbah Salman, begitu dia biasa dipanggil oleh para santrinya, merupakan mursyid Thariqah Naqsabandiyyah-Khalidiyyah. Saat ini, dia juga tercatat menjadi anggota Majelis Ifta’ (Majelis Fatwa) di Jam’iyyah Ahlit Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN). Selama hidup beliau juga pernah menjabat sebagai Mustasyar di Nahdlatul Ulama (NU).
Yang membuat banyak kalangan nahdliyin semakin hormat kepada sosok ini adalah kesediaannya untuk tetap mengaji kepada kiai, dengan cara antri sebagaimana santri kebanyakan, meskipun beliau sendiri sudah memimpin pesantren dan diangkat sebagai Mursyid Tarekat.  Keaktifannya di NU tidak menghalangi sosok ini untuk akrab kepada semua pihak dari beragam latar belakang.
Figur yang amat bersahaja, ramah serta tawadlu’ adalah kesan yang akan didapati oleh siapapun yang bertamu ke rumah kiai. Ketika berbicara dengan para tamunya Kiai Salman lebih sering menundukkan kepala sebagai wujud sikap rendah hatinya. Bahkan tidak jarang, beliau sendiri yang membawa baki berisi air minum dari dalam rumahnya untuk disuguhkan kepada para tamu.
Menjadi Mursyid Usia 19 tahun
Mbah Salman adalah anak laki-laki tertua dari KH M Mukri bin KH Kafrawi. Dan dia merupakan cucu laki-laki tertua dari KH M Manshur, pendiri pesantren Al Manshur. Kiai Manshur sendiri adalah putra dari Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo, salah seorang khalifah Syaikh Sulaiman Zuhdi, guru besar Naqsyabandiyah Khalidiyyah di Jabal Abi Qubais Makkah.
Sebagai cucu laki-laki tertua, Salman muda memang dipersiapkan oleh sang kakek, KH M Manshur yang di kalangan pesantren Jawa Tengah termasyhur sebagai wali, untuk melanjutkan tugas sebagai pengasuh pesantren sekaligus mursyid Thariqah Naqsyabandiyah.
Tahun 1953, ketika Salman berusia 19 tahun, sang kakek, yang wafat dua tahun kemudian, membai’atnya sebagai mursyid, guru pembimbing tarekat. Maka, ketika pemuda-pemuda lain seusianya tengah menikmati puncak masa remajanya, Gus Salman harus memangku jabatan pengasuh pesantren sekaligus mursyid.
Untuk menambah bekal pengetahuannya sebagai pengasuh, Gus Salman nyantri lagi ke pesantrennya K.H. Khozin di Bendo, Pare, Kediri selama kurang lebih empat tahun (1956 – 1960). Sebulan sekali, ia nyambangi pesantren yang diasuhnya di Popongan, yang selama Salman mondok di Kediri, diasuh oleh ayahnya sendiri, KH M Mukri.
Sebelum diangkat menjadi mursyid, Salman mengenyam pendidikan di Madrasah Mamba’ul Ulum, Solo dan beberapa kali nyantri pasan (pengajian bulan Ramadhan) kepada K.H.Ahmad Dalhar, Watu Congol, Magelang,Seiring dengan perkembangan jaman, pesantren yang diasuh oleh Kiai Salman juga mengalami perkembangan. Jika semula santri hanya ngaji dengan sistem sorogan dan bandongan, mulai tahun 1963 didirikan lembaga pendidikan formal mulai Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Diniyah (1964), Madrasah Aliyah (1966) dan yang terakhir TK Al-Manshur (1980).
Popongan Setelah Kepergiannya
Belakangan, seiring dengan kian lanjutnya usia beliau, Kiai Salman tampaknya juga menyiapkan kader pribadinya, baik sebagai pengasuh pesantren maupun mursyid thariqah, yaitu Gus Multazam (35 th). Kondisi fisik Kiai yang sangat tawadhu ini, belakangan, memang agak melemah dan intonasi suaranya tidak lagi sekeras dulu. Maka putra ketujuhnya yang lahir di Makkah inilah yang menjadi badalnya (pengganti) untuk memberikan pengajian-pengajian.
Saat ini pesantren Al-Manshur Popongan terdiri tiga bagian : pesantren putra, pesantren putri dan pesantren sepuh yang diikuti oleh orang-orang tua yang menjalani suluk, lelaku tarekat. Berbagai bentuk kegiatan pesantren juga ditata ulang, sekaligus dengan penunjukkan penanggung jawabnya. Kiai Salman sendiri, selain sebagai sesepuh pesantren, juga mengasuh santri putra dan santri sepuh (santri thariqah) yang datang untuk suluk dan tawajuhhan pada bulan-bulan tertentu.
Sampai hari-hari terakhir menjelang masuk ke rumah sakit beliau tetap mengajar, meskipun santri yang ada di hadapan beliau hanya satu orang. Demikianlah sosok yang di dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah karya Martin van Bruinessen, termasuk tokoh tarekat yang disebut dalam mata rantai KH M Manshur dari KH Muhammad Hadi Girikusumo, Mranggen, Demak ini, dia tidak membedakan sedikit banyaknya santri yang belajar.
Santri mukim yang belajar kepada kiai sepuh ini jumlahnya ratusan orang setiap angkatan. Dan jika dihitung sudah mencapai lebih dari 100 ribu orang yang pernah nyantri kepada Almarhum.
Almarhum meninggalkan seorang isteri, Hj Siti Aliyah dan delapan anak, yaitu Musta’anatussaniyah, Umi Muktamirah, Munifatul Barroh, Murtafiah Mubarokah, Muhammad Maftuhun Ni’am, Muhammad Miftahul Hasan, Multazam Al-Makki, dan Marzuqoh Maliya Silmi. Yang tidak menyertai suami di luar Klaten juga membantu mengasuh di pesantren yang Almarhum pimpin. Para menantunya juga mengasuh pesantren di Krapyak Yogyakarta (KHM Najib Abdul Qodir); Al-Ishlah Kediri (KH Zubaduz Zaman), Al-Muayad Windan (KHM Dian Nafi’).

(Ajie Najmuddin/ dari berbagai sumber)
Read more ...

Monday 19 August 2013

Mahfudz MD: Aneh, Indonesia Kaya Tapi Rakyatnya Miskin

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dewasa ini sedang melaju kencang. Potensi sumberdaya alamnya  juga tak diragukan. Di level Asia, posisi ekonomi Indonesia, sangat bagus. Bahkan pada tahun 2030, kekuatan ekonomi Indonesia diperkirakan bertengger di posisi keenam atau ketujuh dunia.

Namun aneh, tapi jumlah orang miskin masih puluhan juta. Demikian dikemukakan Prof. DR. Mahfudz MD saat memberikan pengarahan dalam acara “Halal Bi Halal dan Silaturrahim Warga Nahdliyyin-Nahdliyyat se-eks Karesidenan Besuki“ di Pesantren Nuris, Antirogo, Jember, Rabu (14/8).

Menurut Mahfudz, kekayaan alam yang melimpah tidak menjamin penghuninya makmur dan berkecukupan. Makmur atau tidaknya penduduk suatu negara, tergantung pada pengelola negara itu sendiri. Begitu juga dengan Indonesia. Negara yang begitu kaya raya, tapi orang miskin berkeliaran di mana-mana. “Apa penyebabnya? Ini terletak  pada kepemimpinan yang tidak beres,” tukasnya.

Mantan Ketua MK itu menambahkan, baiknya tidaknya suatu negara sangat bergantung pada orang yang mengelola negara itu sendiri, yakni para pemimpinnya. Jika mengelola negara  tidak becus, maka potensi ekonomi yang ada tidak akan bermanfaat banyak bagi rakyatnya, kemakmuran tidak merata, keadilan jomplang dan sebagainya.

“Kenapa? Karena kekayaan negara dikorupsi. Negara ini sudah hancur. Korupsi besar-besaran terjadi di mana-mana. Tadi malam saja (kemarin: red) Kepala  SKK Migas sudah tertangkap tangan oleh penyidik KPK,” ungkapnya.

Selain Mahfudz MD, Halal Bi halal tersebut juga dihadiri oleh KH. Hasyim Muzadi, Menakertrans RI, Muhaimin Iskandar, para kiai se-wilayah tapal kuda dan sekitar 3000 hadirin.

Read more ...

Kiai Abdul Malik dan Detik Proklamasi

Kisah ini pernah diceritakan oleh Habib Luthfi, murid Syekh Abdul Malik bin Ilyas. Pernah suatu ketika kiai yang berasal dari daerah Purwokerto Banyumas tersebut mengajak Habib Luthfi jalan-jalan.
Di tengah perjalanan di antara daerah Bantarbolang-Randudongkal, Kiai Abdul Malik tiba-tiba menyuruh untuk menghentikan perjalanannya. “Pak Yuti, berhenti dulu,” perintah Kiai Malik kepada Suyuti, supir, untuk menghentikan mobil.
“Nggih Mbah,” jawab supir. Mobil pun menepi untuk berhenti.
“Ke tempat yang adem saja, biar enak untuk gelaran,” kata Kiai Malik.
Waktu itu sekitar pukul 09.45 WIB. Setelah mendapat tempat untuk beristirahat, tikar digelar dan termos juga dikeluarkan. Kiai Malik mengeluarkan rokok khasnya, klembak menyan, kemudian diraciknya sendiri sebelum dinikmati Sesekali dia mengeluarkan jam dari kantongnya, sembari berkata, “Dilut maning (sebentar lagi),”
Sang murid pun heran, ada apa gerangan yang berulang kali diucapkan gurunya ‘dilut maning’ itu.
Namun, setelah pukul 09.50 WIB, rokok yang belum habis tadi tiba-tiba dimatikan. Kemudian berkata, ”Ayo Pak Yuti, Habib mriki (kesini)!”
Setelah itu Kiai Malik membacakan hadroh al Fatihah untuk Nabi, Sahabat dan seterusnya sampai disebutkan pula sejumlah nama pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, Sentot Prawirodirjo, Kiai Mojo, Jenderal Sudirman dan lain sebagainya.
Sampai ketika tepat pukul 10.00 WIB, Mursyid Thariqah Naqsabandiyah Khalidiyyah ini terdiam beberapa saat dan kemudian berdoa Allahummaghfirlahum warhamhum. Setelah selesai, Habib Luthfi yang penasaran dengan apa yang dilakukan gurunya, kemudian bertanya kepada Syekh Malik, “Mbah, wonten napa ta (ada apa)?”
Anu, napa niki jam 10, niku napa namine, Pak Karno Pak Hatta rumiyin baca napa (pukul 10 dulu Pak Karno Pak Hatta dulu membaca apa) ?” tanya Kiai Malik.
“Proklamasi, Mbah,” jawab Habib Luthfi.
Ya niku lah, kita niku madep ngormati (ya itulah kita berhenti sejenak menghormati),” jawab Kiai Malik.
Betapa dalamnya cara para Kiai dan sesepuh kita di dalam menghormati dan menanamkan karakter nasionalisme. “Sampai begitu mereka, kita ini belum ada apa-apanya, makanya sampai sekarang saya etok-etoke meniru, setiap tanggal 17 Agustus kita baca Al-Fatihah. Rasa mencintai dan memiliki. Tanamkan kepada anak-anak kita!” tegas Habib Luthfi mengakhiri kisahnya. (Ajie Najmuddin/Red:Anam)
Read more ...

Saturday 3 August 2013

Tuntunan Praktis Zakat Fitrah

Zakat Fitrah

1.    Pengertian Zakat Fitrah
Zakat Fitrah adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap orang Islam pada saat menjelang hari raya Iedul Fitri.

2.    Hukum Zakat Fitrah
Zakat Fitrah adalah hukumnya wajib. Berdasarkan Sabda Rasulullah s.a.w. sebagai berikut :

فَرَضَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ الفِطْرِ -مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ
Artinya : Rasulullah telah mewajibkan mengeluarkan Zakat Fitrah (pada bulan Ramadhan kepda setiap manusia) (HR. Bukhari – Muslim).



3.    Orang-orang Yang Wajib Zakat Fitrah
Zakat Fitrah adalah wajib bagi  setiap orang Islam, untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang berada dalam tanggungannya, yaitu dari :
1)    Laki-laki
2)    Perempuan
3)    Anak-anak
4)    Janin
5)    Orang dewasa
6)    Budak
7)    Orang tua
8)    Dan setiap orang yang merdeka (bukan budak).

4.    Macam-macam Zakat Fitrah
Zakat Fitrah pada intinya adalah menggunakan makanan atau kebutuhan pokok dari suatu wilayah terkait. Berikut ini adalah hal-hal yang diperbolehkan digunakan untuk Zakat Fitrah :
1)    Gandum
2)    Kurma
3)    Susu
4)    Anggur kering
5)    Beras
6)    Dll.

5.    Ukuran Zakat Fitrah
Menurut pendapat mayoritas ulama, bahwa Zakat Fitrah di keluarkan dengan kadar ukuran 1 sha’. Yaitu sekitar 2,5 sampai 3,0 kilogram.

6.    Membagikan Zakat Fitrah
Zakat Fitrah itu harus dibagikan kepada kelompok berikut ini :
1)    Fakir
2)    Miskin
3)    Petugas zakat
4)    Muallaf
5)    Budak
6)    Orang yang terlilit hutang
7)    Orang yang sedang dalam jalan Allah
8)    Dan orang yang sedang dalam perjalanan jauh yang bukan maksiat.

7.    Waktu menunaikan Zakat Fitrah
Zakat Fitrah ditunaikan pada :
1)    Sebelun ditunaikannya shalat Ied
2)    Dan boleh dikeluarkan pada awal bulan Ramadhan
Maka jika Zakat Fitrah dikeluarkan setelah shalat Ied, maka dihitung sebagai shadaqah biasa, dan belum menggugurkan kewajiban zakat fitrah.

8.    Lafadz Niat Zakat Fitrah
Lafadz niat zakat fitrah yang dikeluarkan untuk diri sendiri.

نَوَيْتُ عَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِيْ فَرْضَ للهِ تَعَالَى
Artinya : Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku fardhu karena Allah.

Lafadz niat zakat fitrah yang dikeluarkan untuk orang lain.

نَوَيْتُ عَنْ اُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ …… فَرْضَ للهِ تَعَالَى
Artinya : Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk ……. fardhu karena Allah.
9.    Doa mengeluarkan dan menerima zakat fitrah
Doa bagi orang yang mengeluarkan zakar fitrah

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهَا مَغْنَمًا وَلَا تَجْعَلْهَا مَغْرَمًا

Artinya : Ya Allah jadikan ia sebagai simpanan yang menguntungkan dan jangan jadikan ia pemberian yang merugikan.

Doa bagi orang yang menerima zakat fitrah

اَجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَاجْعَلْهُ لَكَ طَهُوْرًا

Artinya : semoga Allah memberikan pahala atas apa yang engkau berikan, dan semoga Allah memberikan barakah atas harta simpananmu dan menjadikannya sebagai pembersih bagimu.


Sumber: Amaliah Bulan Ramadhan, LTM-PBNU, 2011
Read more ...

Ngakali Zakat Fitrah

Otong dan Faruk merupakan santri yang mbeling (nakal) tapi cerdas di pesantren. Mereka jarang pulang saat hari raya idul fitri. Rumah mereka sangat jauh di pulau sebrang. Namun saat itu uang mereka untuk melangsungkan hidup di pesantren mulai menipis. Singkat cerita:
Otong : Kang gimana kabarnya? Benar lagi lebaran ya...
As’ad : Alhamdulillah baik, iya emang kenapa Tong?
Otong : Kang saya ingin ngobrol sama sampean, soal zakat fitrah nanti menjelang idul fitri! 
As’ad  : Oh enjih enjih enjih! Masalah apa yang akan kamu obrolkan dari zakat fitrah, Tong?
Otong : mmmm, begini, gimana caranya zakat fitrah kita nanti, tapi sama sekali kita nggak ngeluarin duit satu rupiah pun, kira-kira bisa nggak ya kang?" 
As’ad pun berpikir sejenak, tidak lama kemudian, jempol dan jari tengah As’ad berbunyi tek tek tek, pertanda sudah dapet ide brilian,,,
As’ad: Gini Tong! Gimana kalo kamu bayar zakat fitrahnya sama saya, terus saya zakat fitrah ke kamu dengan zakat fitrahmu tadi? Bagaimana kira-kira? Sah kan?
Otong : oh oh oh, ya kita sama-sama berhak dapat zakat. Cerdas kamu kang, sambil garuk-garuk kepala..... (Ahmad Rosyidi)
Read more ...

Wednesday 31 July 2013

Kaidah Menandai Lailatul Qadar Menurut Imam Ghazali

Pada dasarnya Rasulullah Muhammad SAW banyak beribadah Qiyamu Ramadhan dan menganjurkan mencari Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir di bulan yang pada sepuluh pertamanya adalah rahmat, sepuluh tengahnya adalah ampunan dan sepuluh akhirnya adalah bebas dari neraka. Walau pun hakikatnya tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan terjadinya Lailatul Qadar, kecuali Allah SWT.

Hanya saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam sabdanya:

تَحَرَّوْا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان

Carilah Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. ” (Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata:


 كَانَ رَسُوْلُ الله إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ)) هذا لفظ البخاري.

Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari menggauli isterinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” Demikian menurut lafadz Al-Bukhari.

Dalam riwayat lain, Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَجْتَهِدُ فِيْ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مَالاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ )) رواه مسلم.


Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersungguh-sungguh dalam sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya.”

Dalam shahihain disebutkan, dari Aisyah Radhiyallahu Anha:

( أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ الله ))

Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, sehingga Allah mewafatkan beliau.”

Lebih khusus lagi, adalah malam-malam ganjil sebagaimana sabda beliau:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (HR. Al-Bukhari dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Dan lebih khusus lagi adalah malam-malam ganjil pada rentang tujuh hari terakhir dari bulan tersebut. Beberapa shahabat Nabi pernah bermimpi bahwa Lailatul Qadar tiba di tujuh hari terakhir. Maka

Rasulullah bersabda:

أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ


“Aku juga bermimpi sama sebagaimana mimpi kalian bahwa Lailatul Qadar pada tujuh hari terakhir, barangsiapa yang berupaya untuk mencarinya, maka hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir. ” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي

Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang dari kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terlewatkan tujuh hari yang tersisa dari bulan Ramadhan. ” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Yang lebih khusus lagi adalah malam 27 sebagaimana sabda Nabi tentang Lailatul Qadar:

لَيْلَةُ سَبْع وَعِشْرِيْنَ

(Dia adalah) malam ke-27. ” (HR. Abu Dawud, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma, dalam Shahih Sunan Abi Dawud. Sahabat Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu menegaskan:

والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين

Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul Qadar) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27. (HR. Muslim)

Dengan demikian dapat diberi kesimpulan bahwa Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh akhir Ramadan, terutama pada malam tanggal ganjil.

Dalam hadits Abu Dzar disebutkan:

(( أَنَّهُ r قَامَ بِهِمْ لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ، وَخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ، وَسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ، وَذَكَرَ أَنَّهُ دَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ خَاصَّةً ))

Bahwasanya Rasulullah melakukan shalat bersama mereka (para sahabat) pada malam dua puluh tiga (23), dua puluh lima (25), dan dua puluh tujuh (27) dan disebutkan bahwasanya beliau mengajak shalat keluarga dan isteri-isterinya pada malam dua puluh tujuh (27).”

Para ulama kemudian berusaha meneliti pengalaman mereka dalam menemukan lailatul qadar, dan di antara ulama yang tegas mengatakan bahwa ada kaidah atau formula untuk mengetahui itu adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H- 505 H) dan Imam Abu Hasan as Syadzili. Bahkan dinyatakan dalam sebuah tafsir surat al-Qadr, bahwa Abu Hasan semenjak baligh selalu mendapatkan Lailatul Qadar dan menyesuai dengan kaidah ini.

Menurut Imam Al Ghazali Cara Untuk mengetahui Lailatul Qadar bisa dilihat dari permulaan atau malam pertama bulan Ramadan :

1. Jika hari pertama jatuh pada malam Ahad atau Rabu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam tanggal 29 Ramadan

2. Jika malam pertama jatuh pada Senin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 21 Ramadan

3.Jika malam pertama jatuh pada Kamis maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 25 Ramadan

4.Jika malam pertama jatuh pada malam Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 23 Ramadan

5.Jika malam pertama jatuh pada Selasa atau Jumat maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadan.

Menyetujui kaidah ini, berarti malam Lailatul Qadar jatuh pada malam Ahad, 11 Agustus 2012 atau malam 23 Ramadan 1433 H, karena awal Ramadan adalah malam Sabtu, 20 Juli 2012.

Kaidah ini tercantum dalam kitab-kitab para ulama termasuk dalam kitab-kitab fiqh Syafi’iyyah. Rumus ini teruji dari kebiasaan para tokoh ulama’ yang telah menemui Lailatul Qadar. Formula ini diceritakan Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin; juga terdapat dalam kitab Hasyiah Sulaiman Al Kurdi juz hal 188; Tafsir Shawi; kitab I’anah at-Thalibin II/257; Syaikh Ibrahim al Bajuri dalam Kitabnya Hasyiah 'Ala Ibn Qasim Al Ghazi juz I halaman 304; as Sayyid al Bakri dalam Kitabnya I'anatuth Thalibin Juz II halaman 257-258; juga kitab Mathla`ul Badrain karangan Syaikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathoni.

Read more ...

Monday 29 July 2013

Bacaan Bilal Shalat Tarawih dan Witir





Jawaban Jamaah
Bacaan Bilal
No
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
1
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
2
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
اَلْخَلِيْفَةُ اْلاُوْلَى سَيِّدُنَا اَبُوْ بَكَرْ الصِّدِّيْقُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
3
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
4
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

اَلْخَلِيْفَةُ الثَّانِيَةُ سَيِّدُنَا عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابْ
5
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
6
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

اَلْخَلِيْفَةُ  الثَّالِثَةُ سَيِّدُنَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
7
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
8
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

اَلْخَلِيْفَةُ الرَّابِعَةُ سَيِّدُنَا عَلِيْ بِنْ اَبِيْ طَالِبْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
9
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
اَمِيْنَ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ
اَخِرُ التَّرَاوِيْحِ اَجَرَكُمُ اللهُ
10
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bacaan Bilal Shalat Witir
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
1
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ رَكْعَةَ الْوِتْرِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
2
Read more ...

Jumlah Rakaat dan Do'a Shalat Tarawih

Sayyidah Aisyah r.a, menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w, melaksanakan shalat malam termasuk di dalamnya shalat tarawih dengan sebelas rakaat; delapan rakaat tarawih atau tahajud dan tiga rakaat witir.
Riwayat aisyah r.a, yang kedua menyebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat malam tiga belas rakaat; delapan rakaat tarawih atau tahajjud dan lima rakaat witir.Dari kedua riwayat tersebut dapat diambil suatu pemahaman, bahwa jumlah rakaat shalat malam atau shalat tarawih tidak harus sebelas rakaat, bisa juga lebih misalnya tiga belas rakaat, seperti disebutkan dalam riwayat Aisyah r.a, yang kedua. 
Dengan demikian yang dimaksud dari riwayat Aisyah r.a, yang menyebutkan bahwa Nabi s.a.w, tidak pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat, baik dalam bulan Ramadhan atau bulan-bulan lain, tidak berarti tidak boleh lebih ari sebelas rakaat.
Apabila dikompromikan dengan riwayat-riwayat lain seperti riwayat Ibnu Umar r.a, yang menyebutkan bahwa shalat malam itu dua rakaat – dua rakaat tanpa menyebutkan jumlahnya, hanya kalau khawatir masuk shubuh segera melaksanakan witir satu rakaat, menunjukkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih atau shalat malam tidak harus sebelas, tetapi boleh lebih dari jumlah tersebut. Apalghi kalau dipadukan dengan kenyataan yang dilakukan para sahabat Nabi dan para tabi’in, mereka mengerjakan shalat tarawih dengan 20 rakaat , tiga witir dan ada pula yang mengerjakan sampai 36 rakaat dan 40 rakaat.

Berkata Yazid bin Ruman: “Di zaman Umar bin Khattab, orang-orang melaksanakan shalat malam di bulan ramadhan (shalat tarawih) dengan 23 rakaat “ (H.R. Imam Muslim). Ibnu Abbas melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir, dengan tidak berjamaah. (H.R. Baihaqy).

Berkata Atho’:“Aku jumpai mereka (para sahabat) mengerjakan shalat pada (malam-malam) Ramadhan 23 rakaat dan 3 witir”. (H.R. Muhammad bin Nashir).

Berkata Daud bin Qais: “Aku jumpai orang-orang di zaman Abas bin Utsman bin Abdul Aziz (di Madinah), mereka shalat 36 rakaat dan mereka bershalat witir 3 rakaat “. (H.R. Muhammad bin Nashir).

Imam Malik menjelaskan: “Perkara shalat (tarawih) di antara kami (di Madinah) dengan 39 rakaat , dan di Makkah 23 rakaat tidak ada suatu kesulitanpun (tidak ada masalah) dalam hal itu”. Al- Tirmidzi menjelakan: “sebanyak-banyak (rakaat) yang diriwayatkan, bahwa Imam Malik shalat 41 rakaat dengan witir”. (Bidayatul Hidayah, Ibn Rusyd, hal.152. bandingkan dengan A. Hasan, Pengajaran Shalat, hal. 290-192).

Pada masa Umar Ibn Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thallib r.a, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Para ulama Jumhur (mayoritas) juga menetapkan jumlah shalat tarawih seperti itu, demikian juga al-Tsauri, Ibn al-Mubarok dan al-Syafi’i. Imam Malik memetapkam bilangan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Ibnu Hubban menjelaskan, bahwa shalat tarawih pada mulanya adalah sebelas rakaat. Para ulama salaf mengerjakan shalat itu dengan memanjangkan bacaan, kemudian dirasakan berat, lalu mereka meringankan bacaannya dengan menambah rakaat menjadi 20 rakaat, tidak termasuk witir. Ada lagi yang lebih meringankan bacaannya sedangkan rakaatnya ditetapkan menjadi 36 rakaat, selain witir”. (Hasby As-Shiddiqy, Pedoman Shalat, hal. 536-537).

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Malik dari Abdurrahman bin Abd Qadri:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِي اَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ اِلَى الْمَسْجِدِ فَاِذَا النَّاسُ اَوْزَاعَ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ اِنِّي اَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ اَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى اُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً اُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ... 

“Abdurrahman bin Abd al-Qadri menceritakan padaku, “aku keluar bersama Umar pada suatu malam di bulan RAmadhan, di masjid Beliau menjumpai banyak orang dalam beberapa kelompok; ada yang sedang melaksanakan shalat sendirian dan ada yang diikuti beberapa orang. Melihat hal itu Umar barkata: “aku berfikir lebih baik aku mengumpulkam mereka dengan satu orang Imam. Setelah itu Beliau memerintahkan Ubay bin Ka’ab r.a, supaya menjadi imam bagi mereka. Pada malam berikutnya aku keluar bersama Umar lagi dan ia melihat orang-orang melaksanakan shalat dengan cara berjama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab r.a, (memperhatikan kegiatan shalat itu), Umar berkata: “inilah sebaik-baik bid’ah”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari:1817 dan Malik:231).

Memperhatikan uraian di atas menurut hemat penulis, shalat Tarawih bisa dilakukandengan jumlah rakaat sebagai berikut:1. Sebelas rakaat, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat witir, atau sepuluh rakaat Tarawih dan satu raakaat Witir.2. Dua puluh rakaat Tarawih dengan tiga rakaat Witir.3. Dan tiga puluh enam Tarawih dan tiga rakaat witir.Dari ketiga jumlah di atas, kita boleh memilih satunya sesuai sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita masing-masing, tanpa memaksakan diri atau memberatkan

adapun do’a Shalat Tarawih

أَللَّهُمَّ اجْعَلْ بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ وَلِلْفَرَئِضِ مُؤَدّيِنَ وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ وَلِمَاعِنْدَكَ طَالِبِيْنَ وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ وَبِالْهُدَى مُتَّسِكِيْنَ وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ وَفِى الْآ خِرَةِ رَاغِبِيْنَ وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنِ وَلِلنَّعْمَاءِ الشَّاكِرِيْنَ وَعَلَى الْبَلَاءِ صَابِرِيْنَ وَتَحْتَ لِوَاءِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَاِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ وَ فِى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ وَعَلَى سَرِيْرِ الْكَرَمَةِ قَاعِدِيْنَ وَمِنْ حُوْرِعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِسِيْنَ وَاِلَى طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفَّيْنِ شَارِبِيْنَ بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مَنْ مَعِيْنٍ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مَنِ النَّبِيِيْنَ وَالصِّدِّقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا اَللَّهُمَّ اجْعَلْ فِى هَذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ  وَلَا تَجْعَلْنَا مِنَ اْلَأْشقِيَاِء الْمَرْدُوْدِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُلِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Wahai Allah, jadikanlah kami orang-orang yang imannya sempurna, dapat menunaikan segala fardhu, memelihara shalat, menegeluarkan zakat, mencari kebaikan di sisi-Mu, senantiasa memegang teguh petunjuk-petunjukMu, terhindar dari segala penyelewengan-penyelewengan, zuhud akan harta benda, mencintai amal untuk  bekal di akhirat, tabah menerima ketetapanMu, mensyukuri segala nikmatMu, tabah dalam menghadapi cobaan,dan semoga nanti pada hari kiamat kami dalam satu barisan dibawah panji-panji Nabi Muhammad s.a.w, dan sampai pada telaga yang sejuk, masuk dalam surge, selamat dari api neraka, dan duduk di atas permadani yang indah bersama para bidadari, berpakaian sutra, menikmati makanan surge, meminum susu dan madu yang murni dengan gelas, ceret dan sloki (yang diambil ) dari air yang mengalir bersama orang-orang yang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka dari golongan para Nabi, orang-orang jujur, para shuhada dan orang-orang yang shalih. Merekalah teman yang terbaik. Demikianlah karunia Allah s.w.t, dan cukuplah Allah yang mengetahui. Wahai Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan penuh berkah ini menjadi orang yang berbahagia dan diterima (amal ibadahnya). Dan janganlah Engkau jadikan kami sebagaian dari orang-orang yang sengsara dan ditolak (amal ibadahnya). Semoga Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada NAbi besar Muhammad s.a.w, beserta keluarga dan segenap sahabatnya. Segala puji milik Allah, Tuhan seru sekalian alam”.
(Penulis: KH. Syaifullah Amin/Red: Ulil H.)
Read more ...

Tradisi dan Anjuran Tadarrus al-Qur’an di Bulan Ramadhan

Diantara ibadah yang diutamakan pada Bulan Ramadhan adalah memperbanyak membaca al-Qur’an. Hal ini sebagai penghormatan dan tabarrukan atas pertama kali diturunkannya al-Qur’an oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah pada malam 17 Ramadhan, yaitu malam yang terkenal dengan sebutan Nuzulul Qur’an.
Begitulah 17 Ramadhan menjadi awal permulaan Rasulullah saw menerima wahyu hingga berlangsung selama kenabian. Selain menjadi pedoman dan tuntunan bagi umat muslim sedunia, al-Qur’an juga merupakan sumber pahala bagi umat Muhammad, karena siapapun yang membaca al-Qur’an akan mendapatkan pahala (almuta’abba bitilawatih).
Dengan kata lain, al-Qur’an memiliki makna dan fungsi lebih apabila dibaca sebagai teks suci dan tidak hanya ditulis atau diterjemahkan saja. Oleh karena itu, untuk menjaga kesahihan Rasulullah dalam menghafal dan membaca al-Qur’an, jibril selalu datang di malam bulan Ramadhan guna bertadarrus langusng dengan Rasulullah saw. dengan cara berhadap-hadapan. Di sinilah akar tradisi tadarrus al-Qur’an di malam Ramadhan.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ اَنَّ رَسُولَ اللهِ ص.م. كَانَ مِنْ اَجْوَدِالنَّاسِ وَاَجْوَدُمَايَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ يُدَارِسُهُ اَلْقُرْأَنَ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ ص.م. حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ اَجْوَدُ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ 
“Dari Ibn ‘Abbas RA bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah. Sedangkan saat yang paling pemurah bagi beliau pada bulan Ramadlan adalah pada saat malaikat Jibril mengunjungi beliau. Malaikat Jibril selalu mengunjungi Nabi setiap malam bulan Ramadlan, lalu melakukan mudarasah al-Qur’an dengan Nabi. Rasulullah SAW ketika dikunjungi malaikat Jibril, lebih dermawan dari angin yang berhembus.” (Musnad Ahmad: 3358)
Read more ...

Pengertian Malam lailatul Qadar

Berdasarkan keterangan al-Qur’an dan al-Sunnah, disebutkan bahwa dalam bulan Ramadhan terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Malam yang indah itu disebut Lailatul Qadar atau malam kemuliaan. Bila seorang muslim mengerjakan kebaikan-kebaikan di malam itu, maka nilainya lebih baik dari mengerjakan kebaikan selama seribu bulan atau sekitar 83 – 84 tahun.
Malam indah yang lebih baik dari seribu bulan itu adalah malam yang penuh berkah, malam yang mulia, dan memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri. Syaikh Muhammad Abduh memaknai kata “al-Qadar” dengan kata “takdir”. Ia berpendapat demikian, karena Allah s.w.t, pada malam itu mentakdirkan agama-Nya dan menetapkan khittah untuk Nabi-Nya, dalam menyeru umat manusia ke jalan yang benar. Khittah yang dijalani itu, sekaligus melepaskan umat manusia dari kerusakan dan kehancuran yang waktu itu sedang membelenggu mereka. (hasbi Ash-Shiddieqy, 1996:247)

Kata “al-Qadar” diartikan juga “al-Syarf” yang artinya mulia (kemuliaan dan kebesaran). Maksudnya Allah s.w.t, telah mengangkat kedudukan Nabi-Nya pada malam Qadar itu dan memuliakannyadengan risalah dan membangkitkannya menjadi Rasul terakhir. Mengenai hal ini diisyaratkan dalam surat al-Qadar. Bahwa malam itu adalah malam yang mulia, malam diturunjannya al-qur’am sebagai kitab suci yang terakhir. Surat al-Qadar itu lengkapnya sebagai berikut:

 اِنَّا اَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا اَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ اَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ اَمْرٍ. سَلَامٌ هِىَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ 

Sesungguhnya aku telah menurunkan al-qur’an pada malam lailatul qadar, tahukah kamu “apa itu lailatul qadar?”, lailatul qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turun para malaikat dan ruh qudus (malaikat jibril) dengan idzin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar’. (QS. Al-Baqarah,97: 1-5)

Dari ayat tersebut, maka jelaslah lailatul qadar adalah malam yang memiliki keistimewaannya sediri disbanding dengan malam-malam yang selainnya. Dan apabila malam itu digunakan untuk ibadah kepada Allah SWT, maka ia akan mendapatkan pahala berlibat ganda satu berbanding seribu amal kebajikan (ibadah) yang dilakukan di selain malam lailatul qadar.

Sedangkan keagungan dan keistimewaan malam Qadar pada dasarnya terletak dalam dua kemuliaan, yaitu turunnya al-qur’an dan turunnya para malaikat dalam jumlah yang besar, termasuk di dalamnya malaikat Jibril. Para malaikat turun di malam itu dengan cahaya yang cemerlang penuh kedamaian dan kesejahteraan. Kedatangan mereka adalah untuk menyampaikam ucapan selamat kepada orang yang yang melaksanakan puasa Ramadhan dan melaksanakan ibadah lainnya. Kemuliaan turunnya al-qur’an, merupakan hari yang agung dan bersejarah, turunnya kitab suci itu merupakan titik awal dimulainya suatu kehidupan “Dunia Baru” yang terlepas dari kesesatan dan kedzaliman, menuju kebenaran yang hakiki. (Pen. H. Syaifullah Amin / Red. Ulil H)
Read more ...
Designed By