SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG NAHDLATUL 'ULAMA KECAMATAN SEMIN GUNUNGKIDUL

Wednesday 31 July 2013

Kaidah Menandai Lailatul Qadar Menurut Imam Ghazali

Pada dasarnya Rasulullah Muhammad SAW banyak beribadah Qiyamu Ramadhan dan menganjurkan mencari Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir di bulan yang pada sepuluh pertamanya adalah rahmat, sepuluh tengahnya adalah ampunan dan sepuluh akhirnya adalah bebas dari neraka. Walau pun hakikatnya tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan terjadinya Lailatul Qadar, kecuali Allah SWT.

Hanya saja, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan dalam sabdanya:

تَحَرَّوْا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان

Carilah Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. ” (Muttafaqun ‘alaihi dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, dari Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata:


 كَانَ رَسُوْلُ الله إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ)) هذا لفظ البخاري.

Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari menggauli isterinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” Demikian menurut lafadz Al-Bukhari.

Dalam riwayat lain, Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَجْتَهِدُ فِيْ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مَالاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ )) رواه مسلم.


Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersungguh-sungguh dalam sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya.”

Dalam shahihain disebutkan, dari Aisyah Radhiyallahu Anha:

( أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ الله ))

Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, sehingga Allah mewafatkan beliau.”

Lebih khusus lagi, adalah malam-malam ganjil sebagaimana sabda beliau:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِفِي الْوِتْرِمِنَ الْعَشْرِالْأَوَاخِرِمِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan)”. (HR. Al-Bukhari dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Dan lebih khusus lagi adalah malam-malam ganjil pada rentang tujuh hari terakhir dari bulan tersebut. Beberapa shahabat Nabi pernah bermimpi bahwa Lailatul Qadar tiba di tujuh hari terakhir. Maka

Rasulullah bersabda:

أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ


“Aku juga bermimpi sama sebagaimana mimpi kalian bahwa Lailatul Qadar pada tujuh hari terakhir, barangsiapa yang berupaya untuk mencarinya, maka hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir. ” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي

Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang dari kalian merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terlewatkan tujuh hari yang tersisa dari bulan Ramadhan. ” (HR. Muslim dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Yang lebih khusus lagi adalah malam 27 sebagaimana sabda Nabi tentang Lailatul Qadar:

لَيْلَةُ سَبْع وَعِشْرِيْنَ

(Dia adalah) malam ke-27. ” (HR. Abu Dawud, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma, dalam Shahih Sunan Abi Dawud. Sahabat Ubay bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu menegaskan:

والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين

Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul Qadar) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27. (HR. Muslim)

Dengan demikian dapat diberi kesimpulan bahwa Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh akhir Ramadan, terutama pada malam tanggal ganjil.

Dalam hadits Abu Dzar disebutkan:

(( أَنَّهُ r قَامَ بِهِمْ لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ، وَخَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ، وَسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ، وَذَكَرَ أَنَّهُ دَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ خَاصَّةً ))

Bahwasanya Rasulullah melakukan shalat bersama mereka (para sahabat) pada malam dua puluh tiga (23), dua puluh lima (25), dan dua puluh tujuh (27) dan disebutkan bahwasanya beliau mengajak shalat keluarga dan isteri-isterinya pada malam dua puluh tujuh (27).”

Para ulama kemudian berusaha meneliti pengalaman mereka dalam menemukan lailatul qadar, dan di antara ulama yang tegas mengatakan bahwa ada kaidah atau formula untuk mengetahui itu adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H- 505 H) dan Imam Abu Hasan as Syadzili. Bahkan dinyatakan dalam sebuah tafsir surat al-Qadr, bahwa Abu Hasan semenjak baligh selalu mendapatkan Lailatul Qadar dan menyesuai dengan kaidah ini.

Menurut Imam Al Ghazali Cara Untuk mengetahui Lailatul Qadar bisa dilihat dari permulaan atau malam pertama bulan Ramadan :

1. Jika hari pertama jatuh pada malam Ahad atau Rabu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam tanggal 29 Ramadan

2. Jika malam pertama jatuh pada Senin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 21 Ramadan

3.Jika malam pertama jatuh pada Kamis maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 25 Ramadan

4.Jika malam pertama jatuh pada malam Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 23 Ramadan

5.Jika malam pertama jatuh pada Selasa atau Jumat maka Lailatul Qadar jatuh pada malam 27 Ramadan.

Menyetujui kaidah ini, berarti malam Lailatul Qadar jatuh pada malam Ahad, 11 Agustus 2012 atau malam 23 Ramadan 1433 H, karena awal Ramadan adalah malam Sabtu, 20 Juli 2012.

Kaidah ini tercantum dalam kitab-kitab para ulama termasuk dalam kitab-kitab fiqh Syafi’iyyah. Rumus ini teruji dari kebiasaan para tokoh ulama’ yang telah menemui Lailatul Qadar. Formula ini diceritakan Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin; juga terdapat dalam kitab Hasyiah Sulaiman Al Kurdi juz hal 188; Tafsir Shawi; kitab I’anah at-Thalibin II/257; Syaikh Ibrahim al Bajuri dalam Kitabnya Hasyiah 'Ala Ibn Qasim Al Ghazi juz I halaman 304; as Sayyid al Bakri dalam Kitabnya I'anatuth Thalibin Juz II halaman 257-258; juga kitab Mathla`ul Badrain karangan Syaikh Muhammad bin Ismail Daud al-Fathoni.

Read more ...

Monday 29 July 2013

Bacaan Bilal Shalat Tarawih dan Witir





Jawaban Jamaah
Bacaan Bilal
No
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
1
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
2
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
اَلْخَلِيْفَةُ اْلاُوْلَى سَيِّدُنَا اَبُوْ بَكَرْ الصِّدِّيْقُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
3
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
4
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

اَلْخَلِيْفَةُ الثَّانِيَةُ سَيِّدُنَا عُمَرُ ابْنُ الْخَطَّابْ
5
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
6
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

اَلْخَلِيْفَةُ  الثَّالِثَةُ سَيِّدُنَا عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
7
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَمَغْفِرَةً وَنِعْمَةْ
فَضْلًا مِنَ اللهِ تَعَالَى وَنِعْمَةْ
8
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

اَلْخَلِيْفَةُ الرَّابِعَةُ سَيِّدُنَا عَلِيْ بِنْ اَبِيْ طَالِبْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
9
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
اَمِيْنَ يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ
اَخِرُ التَّرَاوِيْحِ اَجَرَكُمُ اللهُ
10
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bacaan Bilal Shalat Witir
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ الْوِتْرِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
1
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
رَحِمَكُمُ اللهُ
صَلُّوْا سُنَّةَ رَكْعَةَ الْوِتْرِ جَامِعَةَ رَحِمَكُمُ اللهُ
2
Read more ...

Jumlah Rakaat dan Do'a Shalat Tarawih

Sayyidah Aisyah r.a, menerangkan bahwa Rasulullah s.a.w, melaksanakan shalat malam termasuk di dalamnya shalat tarawih dengan sebelas rakaat; delapan rakaat tarawih atau tahajud dan tiga rakaat witir.
Riwayat aisyah r.a, yang kedua menyebutkan bahwa Nabi melaksanakan shalat malam tiga belas rakaat; delapan rakaat tarawih atau tahajjud dan lima rakaat witir.Dari kedua riwayat tersebut dapat diambil suatu pemahaman, bahwa jumlah rakaat shalat malam atau shalat tarawih tidak harus sebelas rakaat, bisa juga lebih misalnya tiga belas rakaat, seperti disebutkan dalam riwayat Aisyah r.a, yang kedua. 
Dengan demikian yang dimaksud dari riwayat Aisyah r.a, yang menyebutkan bahwa Nabi s.a.w, tidak pernah shalat malam lebih dari sebelas rakaat, baik dalam bulan Ramadhan atau bulan-bulan lain, tidak berarti tidak boleh lebih ari sebelas rakaat.
Apabila dikompromikan dengan riwayat-riwayat lain seperti riwayat Ibnu Umar r.a, yang menyebutkan bahwa shalat malam itu dua rakaat – dua rakaat tanpa menyebutkan jumlahnya, hanya kalau khawatir masuk shubuh segera melaksanakan witir satu rakaat, menunjukkan bahwa jumlah rakaat shalat tarawih atau shalat malam tidak harus sebelas, tetapi boleh lebih dari jumlah tersebut. Apalghi kalau dipadukan dengan kenyataan yang dilakukan para sahabat Nabi dan para tabi’in, mereka mengerjakan shalat tarawih dengan 20 rakaat , tiga witir dan ada pula yang mengerjakan sampai 36 rakaat dan 40 rakaat.

Berkata Yazid bin Ruman: “Di zaman Umar bin Khattab, orang-orang melaksanakan shalat malam di bulan ramadhan (shalat tarawih) dengan 23 rakaat “ (H.R. Imam Muslim). Ibnu Abbas melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir, dengan tidak berjamaah. (H.R. Baihaqy).

Berkata Atho’:“Aku jumpai mereka (para sahabat) mengerjakan shalat pada (malam-malam) Ramadhan 23 rakaat dan 3 witir”. (H.R. Muhammad bin Nashir).

Berkata Daud bin Qais: “Aku jumpai orang-orang di zaman Abas bin Utsman bin Abdul Aziz (di Madinah), mereka shalat 36 rakaat dan mereka bershalat witir 3 rakaat “. (H.R. Muhammad bin Nashir).

Imam Malik menjelaskan: “Perkara shalat (tarawih) di antara kami (di Madinah) dengan 39 rakaat , dan di Makkah 23 rakaat tidak ada suatu kesulitanpun (tidak ada masalah) dalam hal itu”. Al- Tirmidzi menjelakan: “sebanyak-banyak (rakaat) yang diriwayatkan, bahwa Imam Malik shalat 41 rakaat dengan witir”. (Bidayatul Hidayah, Ibn Rusyd, hal.152. bandingkan dengan A. Hasan, Pengajaran Shalat, hal. 290-192).

Pada masa Umar Ibn Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thallib r.a, shalat tarawih dikerjakan sebanyak 20 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Para ulama Jumhur (mayoritas) juga menetapkan jumlah shalat tarawih seperti itu, demikian juga al-Tsauri, Ibn al-Mubarok dan al-Syafi’i. Imam Malik memetapkam bilangan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat dan 3 rakaat untuk shalat witir. Ibnu Hubban menjelaskan, bahwa shalat tarawih pada mulanya adalah sebelas rakaat. Para ulama salaf mengerjakan shalat itu dengan memanjangkan bacaan, kemudian dirasakan berat, lalu mereka meringankan bacaannya dengan menambah rakaat menjadi 20 rakaat, tidak termasuk witir. Ada lagi yang lebih meringankan bacaannya sedangkan rakaatnya ditetapkan menjadi 36 rakaat, selain witir”. (Hasby As-Shiddiqy, Pedoman Shalat, hal. 536-537).

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Malik dari Abdurrahman bin Abd Qadri:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِي اَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ اِلَى الْمَسْجِدِ فَاِذَا النَّاسُ اَوْزَاعَ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ اِنِّي اَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ اَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى اُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً اُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ... 

“Abdurrahman bin Abd al-Qadri menceritakan padaku, “aku keluar bersama Umar pada suatu malam di bulan RAmadhan, di masjid Beliau menjumpai banyak orang dalam beberapa kelompok; ada yang sedang melaksanakan shalat sendirian dan ada yang diikuti beberapa orang. Melihat hal itu Umar barkata: “aku berfikir lebih baik aku mengumpulkam mereka dengan satu orang Imam. Setelah itu Beliau memerintahkan Ubay bin Ka’ab r.a, supaya menjadi imam bagi mereka. Pada malam berikutnya aku keluar bersama Umar lagi dan ia melihat orang-orang melaksanakan shalat dengan cara berjama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab r.a, (memperhatikan kegiatan shalat itu), Umar berkata: “inilah sebaik-baik bid’ah”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari:1817 dan Malik:231).

Memperhatikan uraian di atas menurut hemat penulis, shalat Tarawih bisa dilakukandengan jumlah rakaat sebagai berikut:1. Sebelas rakaat, delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat witir, atau sepuluh rakaat Tarawih dan satu raakaat Witir.2. Dua puluh rakaat Tarawih dengan tiga rakaat Witir.3. Dan tiga puluh enam Tarawih dan tiga rakaat witir.Dari ketiga jumlah di atas, kita boleh memilih satunya sesuai sesuai dengan kondisi dan kemampuan kita masing-masing, tanpa memaksakan diri atau memberatkan

adapun do’a Shalat Tarawih

أَللَّهُمَّ اجْعَلْ بِالْإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ وَلِلْفَرَئِضِ مُؤَدّيِنَ وَلِلصَّلَاةِ حَافِظِيْنَ وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ وَلِمَاعِنْدَكَ طَالِبِيْنَ وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ وَبِالْهُدَى مُتَّسِكِيْنَ وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ وَفِى الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ وَفِى الْآ خِرَةِ رَاغِبِيْنَ وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنِ وَلِلنَّعْمَاءِ الشَّاكِرِيْنَ وَعَلَى الْبَلَاءِ صَابِرِيْنَ وَتَحْتَ لِوَاءِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ وَاِلَى الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ وَ فِى الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ وَعَلَى سَرِيْرِ الْكَرَمَةِ قَاعِدِيْنَ وَمِنْ حُوْرِعِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ وَمِنْ سُنْدُسٍ وَاسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِسِيْنَ وَاِلَى طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفَّيْنِ شَارِبِيْنَ بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مَنْ مَعِيْنٍ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مَنِ النَّبِيِيْنَ وَالصِّدِّقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَ الصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا اَللَّهُمَّ اجْعَلْ فِى هَذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّرِيْفَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ  وَلَا تَجْعَلْنَا مِنَ اْلَأْشقِيَاِء الْمَرْدُوْدِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُلِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Wahai Allah, jadikanlah kami orang-orang yang imannya sempurna, dapat menunaikan segala fardhu, memelihara shalat, menegeluarkan zakat, mencari kebaikan di sisi-Mu, senantiasa memegang teguh petunjuk-petunjukMu, terhindar dari segala penyelewengan-penyelewengan, zuhud akan harta benda, mencintai amal untuk  bekal di akhirat, tabah menerima ketetapanMu, mensyukuri segala nikmatMu, tabah dalam menghadapi cobaan,dan semoga nanti pada hari kiamat kami dalam satu barisan dibawah panji-panji Nabi Muhammad s.a.w, dan sampai pada telaga yang sejuk, masuk dalam surge, selamat dari api neraka, dan duduk di atas permadani yang indah bersama para bidadari, berpakaian sutra, menikmati makanan surge, meminum susu dan madu yang murni dengan gelas, ceret dan sloki (yang diambil ) dari air yang mengalir bersama orang-orang yang yang telah Engkau beri nikmat atas mereka dari golongan para Nabi, orang-orang jujur, para shuhada dan orang-orang yang shalih. Merekalah teman yang terbaik. Demikianlah karunia Allah s.w.t, dan cukuplah Allah yang mengetahui. Wahai Allah, jadikanlah kami pada malam yang mulia dan penuh berkah ini menjadi orang yang berbahagia dan diterima (amal ibadahnya). Dan janganlah Engkau jadikan kami sebagaian dari orang-orang yang sengsara dan ditolak (amal ibadahnya). Semoga Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada NAbi besar Muhammad s.a.w, beserta keluarga dan segenap sahabatnya. Segala puji milik Allah, Tuhan seru sekalian alam”.
(Penulis: KH. Syaifullah Amin/Red: Ulil H.)
Read more ...

Tradisi dan Anjuran Tadarrus al-Qur’an di Bulan Ramadhan

Diantara ibadah yang diutamakan pada Bulan Ramadhan adalah memperbanyak membaca al-Qur’an. Hal ini sebagai penghormatan dan tabarrukan atas pertama kali diturunkannya al-Qur’an oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah pada malam 17 Ramadhan, yaitu malam yang terkenal dengan sebutan Nuzulul Qur’an.
Begitulah 17 Ramadhan menjadi awal permulaan Rasulullah saw menerima wahyu hingga berlangsung selama kenabian. Selain menjadi pedoman dan tuntunan bagi umat muslim sedunia, al-Qur’an juga merupakan sumber pahala bagi umat Muhammad, karena siapapun yang membaca al-Qur’an akan mendapatkan pahala (almuta’abba bitilawatih).
Dengan kata lain, al-Qur’an memiliki makna dan fungsi lebih apabila dibaca sebagai teks suci dan tidak hanya ditulis atau diterjemahkan saja. Oleh karena itu, untuk menjaga kesahihan Rasulullah dalam menghafal dan membaca al-Qur’an, jibril selalu datang di malam bulan Ramadhan guna bertadarrus langusng dengan Rasulullah saw. dengan cara berhadap-hadapan. Di sinilah akar tradisi tadarrus al-Qur’an di malam Ramadhan.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ اَنَّ رَسُولَ اللهِ ص.م. كَانَ مِنْ اَجْوَدِالنَّاسِ وَاَجْوَدُمَايَكُوْنُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ يُدَارِسُهُ اَلْقُرْأَنَ فَكَانَ رَسُولُ اللهِ ص.م. حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ اَجْوَدُ مِنَ الرِّيْحِ الْمُرْسَلَةِ 
“Dari Ibn ‘Abbas RA bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling pemurah. Sedangkan saat yang paling pemurah bagi beliau pada bulan Ramadlan adalah pada saat malaikat Jibril mengunjungi beliau. Malaikat Jibril selalu mengunjungi Nabi setiap malam bulan Ramadlan, lalu melakukan mudarasah al-Qur’an dengan Nabi. Rasulullah SAW ketika dikunjungi malaikat Jibril, lebih dermawan dari angin yang berhembus.” (Musnad Ahmad: 3358)
Read more ...

Pengertian Malam lailatul Qadar

Berdasarkan keterangan al-Qur’an dan al-Sunnah, disebutkan bahwa dalam bulan Ramadhan terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Malam yang indah itu disebut Lailatul Qadar atau malam kemuliaan. Bila seorang muslim mengerjakan kebaikan-kebaikan di malam itu, maka nilainya lebih baik dari mengerjakan kebaikan selama seribu bulan atau sekitar 83 – 84 tahun.
Malam indah yang lebih baik dari seribu bulan itu adalah malam yang penuh berkah, malam yang mulia, dan memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri. Syaikh Muhammad Abduh memaknai kata “al-Qadar” dengan kata “takdir”. Ia berpendapat demikian, karena Allah s.w.t, pada malam itu mentakdirkan agama-Nya dan menetapkan khittah untuk Nabi-Nya, dalam menyeru umat manusia ke jalan yang benar. Khittah yang dijalani itu, sekaligus melepaskan umat manusia dari kerusakan dan kehancuran yang waktu itu sedang membelenggu mereka. (hasbi Ash-Shiddieqy, 1996:247)

Kata “al-Qadar” diartikan juga “al-Syarf” yang artinya mulia (kemuliaan dan kebesaran). Maksudnya Allah s.w.t, telah mengangkat kedudukan Nabi-Nya pada malam Qadar itu dan memuliakannyadengan risalah dan membangkitkannya menjadi Rasul terakhir. Mengenai hal ini diisyaratkan dalam surat al-Qadar. Bahwa malam itu adalah malam yang mulia, malam diturunjannya al-qur’am sebagai kitab suci yang terakhir. Surat al-Qadar itu lengkapnya sebagai berikut:

 اِنَّا اَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا اَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ اَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ اَمْرٍ. سَلَامٌ هِىَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ 

Sesungguhnya aku telah menurunkan al-qur’an pada malam lailatul qadar, tahukah kamu “apa itu lailatul qadar?”, lailatul qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turun para malaikat dan ruh qudus (malaikat jibril) dengan idzin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar’. (QS. Al-Baqarah,97: 1-5)

Dari ayat tersebut, maka jelaslah lailatul qadar adalah malam yang memiliki keistimewaannya sediri disbanding dengan malam-malam yang selainnya. Dan apabila malam itu digunakan untuk ibadah kepada Allah SWT, maka ia akan mendapatkan pahala berlibat ganda satu berbanding seribu amal kebajikan (ibadah) yang dilakukan di selain malam lailatul qadar.

Sedangkan keagungan dan keistimewaan malam Qadar pada dasarnya terletak dalam dua kemuliaan, yaitu turunnya al-qur’an dan turunnya para malaikat dalam jumlah yang besar, termasuk di dalamnya malaikat Jibril. Para malaikat turun di malam itu dengan cahaya yang cemerlang penuh kedamaian dan kesejahteraan. Kedatangan mereka adalah untuk menyampaikam ucapan selamat kepada orang yang yang melaksanakan puasa Ramadhan dan melaksanakan ibadah lainnya. Kemuliaan turunnya al-qur’an, merupakan hari yang agung dan bersejarah, turunnya kitab suci itu merupakan titik awal dimulainya suatu kehidupan “Dunia Baru” yang terlepas dari kesesatan dan kedzaliman, menuju kebenaran yang hakiki. (Pen. H. Syaifullah Amin / Red. Ulil H)
Read more ...

Thursday 25 July 2013

Manifestasi Nilai-nilai Aswaja dalam Ibadah Puasa

oleh: Prof. Dr. H M Ishom Yusqi, MA (Wakil Sekretaris Jenderal PP ISNU)
toleransiDi bulan suci Ramadhan seringkali kita mendengarkan kajian-kajian hikmah seputar ibadah puasa. Biasanya ibadah puasa dianalisis secara deduktif dari al-Qur’an maupun al-Hadis, sehingga memunculkan dan melahirkan beberapa aspek hukum yang terkait dengan puasa.
Namun tidak jarang juga para penceramah meninjau ibadah puasa dalam berbagai perspektif dan dianalisis secara induktif dari korelasi dan signifikansi puasa dengan kehidupan sehari-hari umat Islam saat menjalankannya. Misalnya,  ada yang mengkaji aspek-aspek kesehatan yang ditimbulkan dalam ibadah puasa. Ada juga para ustadz yang menyampaikan hikmah-hikmah puasa dalam sudut pandang spiritualitas, sosialitas, kesehatan jiwa umat manusia dan lain sebagainya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengelaborasi lebih jauh tentang manifestasi nilai-nilai Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) dalam ibadah puasa. Hal ini dirasa penting karena kita sebagai kaum Nahdliyiin (baca: warga NU) perlu menyadari bahwa nilai-nilai Aswaja harus benar-benar inheren dan terinternalisasi dalam setiap pribadi orang NU. Antara NU dan aswaja merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Aswaja merupakan akidah bagi orang NU di mana dan kapan saja berada.
Sebagai warga NU, jika tanpa akidah Aswaja tentu ke-NU-annya hanya nama dan topeng belaka. Eksistensi NU, Aswaja dan Tanah Air Indonesia (baca ; nusantara) adalah tiga serangkai yang saling terkait dan berkelindan satu dengan lainnya. NU merupakan ormas terbesar yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan berdasarkan pada akidah Aswaja.
Dengan demikian, mayoritas Islam Indonesia (baca ; Islam Nusantara) adalah Islam Aswaja, dan Islam Aswaja tercermin jelas pada Islam NU, Islam NU adalah Islamnya orang-orang Indonesia yang menganut paham Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) yang selalu berprinsip pada nilai-nilai dasarnya yaitu ; al-Tawazun (bertindak seimbang),  at-Tawassuth (berprilaku moderat) ,al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran).
Keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja di atas merupakan empat pilar warga NU dalam ber-aswaja (ber-Islam), berbangsa dan bernegara. Empat pilar al-Tawazun (bertindak seimbang),  at-Tawassuth (berprilaku moderat) ,al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) sama sekali tidak bertentangan dengan empat pilar bangsa Indonesia ; Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, bahkan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja warga NU tersebut selalu menafasi dan menopang terhadap empat pilar bangsa Indonesia. Hal itu, sudah terbukti dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, baik pada pra-kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan bahwa warga NU selalu berada pada garda terdepan dalam membela Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika secara istiqomah dengan tetap berprinsip pada nilai-nilai dasar Aswaja.
Keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja ; al-Tawazun (bertindak seimbang),  at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) merupakan metode berfikir yang paripurna bagi warga NU dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Berpijak pada keempat prinsip itulah warga NU menjalankan ajaran Islam, berbangsa dan bernegara Indonesia, hidup berdampingan dengan umat beragama lain dan bersikap toleran baik antar umat beragama dan intern umat Islam. Dengan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja tersebut, para ulama NU menyatakan, “resolusi jihad melawan penjajah, Indonesia merdeka berkat rahmat Allah, NU menerima asas tunggal Pancasila, Hubungan Islam dan NKRI sudah final dan tidak perlu lagi membentuk negara Islam, NU kembali ke Khittah dan lain sebagainya.
Kembali pada manifestasi nilai-nilai Aswaja dalam ibadah puasa di bulan suci Ramadhan jika kita renungkan lebih mendalam, maka sangat terasa nilai-nilai al-Tawazun (bertindak seimbang),  at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) terinternalisasi pada pribadi-pribadi orang yang berpuasa (al-sha-imiin dan al-sha-imaat).
Pertama; al-Tawazun (bertindak seimbang)
Dalam ibadah puasa nilai-nilai al-Tawazun (bertindak seimbang) tercermin sekali pada aspek-aspek mental-spiritual, fisik-psikis dan sosial kemasyarakatan. Pada aspek mental-spiritual pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan rohani dan jasmani. Artinya dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang berakibat tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi).
Jiwa dan pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya mengejar duniawi (harta, tahta dan wanita) sehingga menimbulkan penyakit-penyakit hati (baca; psikis) seperti tamak-serakah, sombong, hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah),  cinta kedudukan terpuji (hubbul Jah) dan lain sebagainya. Agar pribadi manusia seimbang secara jasmaniyah wa rohaniyah dan tidak mengalami keterbelahan jiwa (split personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk rendah hati (tawadhu’), cinta akherat, cinta ilmu dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan Allah SWT.
Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang bahwa pada saat manusia berpuasa otak secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas seperti saat pohon berpuasa sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan.
Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, dibagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlahnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yg sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia menjadi seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.
Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh, infak dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.
Kedua ; at-Tawassuth (berprilaku moderat)
Sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrem  adalah at-Tawassuth (berprilaku moderat). Ibadah puasa merupakan sikap tengah-tengah antara materialisme ekstrim dengan mengabaikan dimensi spiritual-rohaniah dalam kehidupan manusia sehingga bersikap hedonis, atheis dan materialistis tidak perlu berpuasa dan berlapar-lapar diri sepanjang tahun.
Dan yang kedua sikap spriritualisme ekstrem yang tidak bersikap adil terhadap aspek-aspek jasmaniah sehingga berpuasa sepanjang tahun (shoum ad-Dahr), sambil mengabaikan hak-hak tubuh, keluarga dan masyarakat. Sikap at-Tawassuth (berprilaku moderat) pada orang orang yang berpuasa mengejawantah pada pribadi dan masyarakat dengan sikap yang tenang, tentram, adil dan sejahtera.
Ketiga; al-Tasamuh (bersikap toleran)
Ajaran at-Tasamuh mengandung makna bersikap toleransi, saling menghargai, lapang dada, suka memaafkan dan bersikap terbuka dalam menghadapi perbedaan, kemajemukan dan pluralitas. Prinsip ketiga dari nilai dasar Aswaja ini sangat terlihat jelas pada pribadi orang-orang yang berpuasa. Misalnya, Adanya perbedaan penetapan awal Ramadhan, warga NU dan umat Islam Indonesia mensikapi hal itu dengan penuh toleran, saling menghargai dan bersikap lapang dada. Kedua, perbedaan jumlah rakaat shalat taraweh juga disikapi seperti di atas.
Bahkan sikap toleran itu harus ditunjukkan oleh seorang muslim yang terhormat dengan menghormati orang yang tidak berpuasa, demi saling menghargai dan menghormati.  Nilai al-Tasamuh (bersikap toleran) bagi warga NU Aswaja tersebut sudah mendarah daging dalam setiap kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Tidak sekedar pada saat bulan puasa, bahkan di luar bulan ramadhan pun Islam NU tetap mengimplementasikan nilai-nilai Islam Aswaja yang nota bene Islam Indonesia.
Keempat: al-I’tidal (berpihak pada kebenaran)
Ajaran al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) merupakan sikap yang adil dan konsisten pada hal-hal yang lurus, benar dan tepat. Nilai al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) dalam ibadah puasa termanifestasi dengan jelas bahwa secara spiritual berpuasa merupakan sikap yang adil dan konsisten pada olah kesucian rohani, dan berpuasa merupakan ibadah ilahiyah yang tertuju khusus dan terfokuskan hanya karena dan untuk Allah SWT bukan untuk selain-NYA.
Dalam ibadah puasa manusia konsisten mensucikan diri untuk mendekatkan ruhnya kepada yang Maha Suci. Manusia saat berpuasa selalu memuji Allah SWT (bertahmid ) dan membesarkan nama Allah SWT (bertakbir) untuk melepaskan dirinya dari pujian-pujian yang pada hakekatnya pujian itu hanya milik Allah SWT
Begitu juga dengan takbir, manusia hanya ingin membesarkan nama Allah SWT bukan ingin membesarkan dan mengagungkan uang, harta, tahta dan materi duniawi yang tidak kekal abadi. Bertitik tolak dari konsistensi nilai-nilai ilahiyah (al-i’tidal) tersebut maka pasti berdampak positif pada sikap yang adil dan konsisten terhadap diri manusia sendiri, keluarga dan masyarakat demi menjadikan pribadinya yang sholeh secara individual dan sekaligus sholeh secara sosial. Selain itu, berakibat baik juga dalam menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, serta mewujudkan masyarakat/negaranya  yang ber-keadilan sosial bagi masyarakat (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
sumber: nu.or.id
Read more ...

Manifestasi Nilai-nilai Aswaja dalam Ibadah Puasa

oleh: Prof. Dr. H M Ishom Yusqi, MA (Wakil Sekretaris Jenderal PP ISNU)
toleransiDi bulan suci Ramadhan seringkali kita mendengarkan kajian-kajian hikmah seputar ibadah puasa. Biasanya ibadah puasa dianalisis secara deduktif dari al-Qur’an maupun al-Hadis, sehingga memunculkan dan melahirkan beberapa aspek hukum yang terkait dengan puasa.
Namun tidak jarang juga para penceramah meninjau ibadah puasa dalam berbagai perspektif dan dianalisis secara induktif dari korelasi dan signifikansi puasa dengan kehidupan sehari-hari umat Islam saat menjalankannya. Misalnya,  ada yang mengkaji aspek-aspek kesehatan yang ditimbulkan dalam ibadah puasa. Ada juga para ustadz yang menyampaikan hikmah-hikmah puasa dalam sudut pandang spiritualitas, sosialitas, kesehatan jiwa umat manusia dan lain sebagainya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengelaborasi lebih jauh tentang manifestasi nilai-nilai Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) dalam ibadah puasa. Hal ini dirasa penting karena kita sebagai kaum Nahdliyiin (baca: warga NU) perlu menyadari bahwa nilai-nilai Aswaja harus benar-benar inheren dan terinternalisasi dalam setiap pribadi orang NU. Antara NU dan aswaja merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan. Aswaja merupakan akidah bagi orang NU di mana dan kapan saja berada.
Sebagai warga NU, jika tanpa akidah Aswaja tentu ke-NU-annya hanya nama dan topeng belaka. Eksistensi NU, Aswaja dan Tanah Air Indonesia (baca ; nusantara) adalah tiga serangkai yang saling terkait dan berkelindan satu dengan lainnya. NU merupakan ormas terbesar yang diikuti oleh mayoritas umat Islam di wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan berdasarkan pada akidah Aswaja.
Dengan demikian, mayoritas Islam Indonesia (baca ; Islam Nusantara) adalah Islam Aswaja, dan Islam Aswaja tercermin jelas pada Islam NU, Islam NU adalah Islamnya orang-orang Indonesia yang menganut paham Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) yang selalu berprinsip pada nilai-nilai dasarnya yaitu ; al-Tawazun (bertindak seimbang),  at-Tawassuth (berprilaku moderat) ,al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran).
Keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja di atas merupakan empat pilar warga NU dalam ber-aswaja (ber-Islam), berbangsa dan bernegara. Empat pilar al-Tawazun (bertindak seimbang),  at-Tawassuth (berprilaku moderat) ,al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) sama sekali tidak bertentangan dengan empat pilar bangsa Indonesia ; Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, bahkan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja warga NU tersebut selalu menafasi dan menopang terhadap empat pilar bangsa Indonesia. Hal itu, sudah terbukti dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, baik pada pra-kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan bahwa warga NU selalu berada pada garda terdepan dalam membela Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika secara istiqomah dengan tetap berprinsip pada nilai-nilai dasar Aswaja.
Keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja ; al-Tawazun (bertindak seimbang),  at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) merupakan metode berfikir yang paripurna bagi warga NU dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Berpijak pada keempat prinsip itulah warga NU menjalankan ajaran Islam, berbangsa dan bernegara Indonesia, hidup berdampingan dengan umat beragama lain dan bersikap toleran baik antar umat beragama dan intern umat Islam. Dengan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja tersebut, para ulama NU menyatakan, “resolusi jihad melawan penjajah, Indonesia merdeka berkat rahmat Allah, NU menerima asas tunggal Pancasila, Hubungan Islam dan NKRI sudah final dan tidak perlu lagi membentuk negara Islam, NU kembali ke Khittah dan lain sebagainya.
Kembali pada manifestasi nilai-nilai Aswaja dalam ibadah puasa di bulan suci Ramadhan jika kita renungkan lebih mendalam, maka sangat terasa nilai-nilai al-Tawazun (bertindak seimbang),  at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) terinternalisasi pada pribadi-pribadi orang yang berpuasa (al-sha-imiin dan al-sha-imaat).
Pertama; al-Tawazun (bertindak seimbang)
Dalam ibadah puasa nilai-nilai al-Tawazun (bertindak seimbang) tercermin sekali pada aspek-aspek mental-spiritual, fisik-psikis dan sosial kemasyarakatan. Pada aspek mental-spiritual pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan rohani dan jasmani. Artinya dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak terlalu berat sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang berakibat tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi).
Jiwa dan pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya mengejar duniawi (harta, tahta dan wanita) sehingga menimbulkan penyakit-penyakit hati (baca; psikis) seperti tamak-serakah, sombong, hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah),  cinta kedudukan terpuji (hubbul Jah) dan lain sebagainya. Agar pribadi manusia seimbang secara jasmaniyah wa rohaniyah dan tidak mengalami keterbelahan jiwa (split personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk rendah hati (tawadhu’), cinta akherat, cinta ilmu dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan Allah SWT.
Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang bahwa pada saat manusia berpuasa otak secara otomatis akan menghidupkan program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah) autolisis yang khas seperti saat pohon berpuasa sistem autolisisnya bekerja dengan menggugurkan dedaunan.
Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel manusia, dibagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak jumlahnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati, menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yg sering menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia menjadi seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.
Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh, infak dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial. Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu menjadi satu.
Kedua ; at-Tawassuth (berprilaku moderat)
Sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrem  adalah at-Tawassuth (berprilaku moderat). Ibadah puasa merupakan sikap tengah-tengah antara materialisme ekstrim dengan mengabaikan dimensi spiritual-rohaniah dalam kehidupan manusia sehingga bersikap hedonis, atheis dan materialistis tidak perlu berpuasa dan berlapar-lapar diri sepanjang tahun.
Dan yang kedua sikap spriritualisme ekstrem yang tidak bersikap adil terhadap aspek-aspek jasmaniah sehingga berpuasa sepanjang tahun (shoum ad-Dahr), sambil mengabaikan hak-hak tubuh, keluarga dan masyarakat. Sikap at-Tawassuth (berprilaku moderat) pada orang orang yang berpuasa mengejawantah pada pribadi dan masyarakat dengan sikap yang tenang, tentram, adil dan sejahtera.
Ketiga; al-Tasamuh (bersikap toleran)
Ajaran at-Tasamuh mengandung makna bersikap toleransi, saling menghargai, lapang dada, suka memaafkan dan bersikap terbuka dalam menghadapi perbedaan, kemajemukan dan pluralitas. Prinsip ketiga dari nilai dasar Aswaja ini sangat terlihat jelas pada pribadi orang-orang yang berpuasa. Misalnya, Adanya perbedaan penetapan awal Ramadhan, warga NU dan umat Islam Indonesia mensikapi hal itu dengan penuh toleran, saling menghargai dan bersikap lapang dada. Kedua, perbedaan jumlah rakaat shalat taraweh juga disikapi seperti di atas.
Bahkan sikap toleran itu harus ditunjukkan oleh seorang muslim yang terhormat dengan menghormati orang yang tidak berpuasa, demi saling menghargai dan menghormati.  Nilai al-Tasamuh (bersikap toleran) bagi warga NU Aswaja tersebut sudah mendarah daging dalam setiap kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Tidak sekedar pada saat bulan puasa, bahkan di luar bulan ramadhan pun Islam NU tetap mengimplementasikan nilai-nilai Islam Aswaja yang nota bene Islam Indonesia.
Keempat: al-I’tidal (berpihak pada kebenaran)
Ajaran al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) merupakan sikap yang adil dan konsisten pada hal-hal yang lurus, benar dan tepat. Nilai al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) dalam ibadah puasa termanifestasi dengan jelas bahwa secara spiritual berpuasa merupakan sikap yang adil dan konsisten pada olah kesucian rohani, dan berpuasa merupakan ibadah ilahiyah yang tertuju khusus dan terfokuskan hanya karena dan untuk Allah SWT bukan untuk selain-NYA.
Dalam ibadah puasa manusia konsisten mensucikan diri untuk mendekatkan ruhnya kepada yang Maha Suci. Manusia saat berpuasa selalu memuji Allah SWT (bertahmid ) dan membesarkan nama Allah SWT (bertakbir) untuk melepaskan dirinya dari pujian-pujian yang pada hakekatnya pujian itu hanya milik Allah SWT
Begitu juga dengan takbir, manusia hanya ingin membesarkan nama Allah SWT bukan ingin membesarkan dan mengagungkan uang, harta, tahta dan materi duniawi yang tidak kekal abadi. Bertitik tolak dari konsistensi nilai-nilai ilahiyah (al-i’tidal) tersebut maka pasti berdampak positif pada sikap yang adil dan konsisten terhadap diri manusia sendiri, keluarga dan masyarakat demi menjadikan pribadinya yang sholeh secara individual dan sekaligus sholeh secara sosial. Selain itu, berakibat baik juga dalam menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah, serta mewujudkan masyarakat/negaranya  yang ber-keadilan sosial bagi masyarakat (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
sumber: nu.or.id
Read more ...

Friday 19 July 2013

KH Dian Nafi’, Ahlinya Resolusi Konflik dari Solo

Tulisannya sering muncul di kolom berbagai surat kabar. Temanya begitu menyejukkan, tentang Islam Rahmatan lil Alamin, tentang keadilan. Para pembaca menjadi ikut tercerahkan dan membuat orang menjadi tertarik akan konsep Islam yang damai.
Pada Rabu sore (19/6), wartawan NU Online, Ajie Najmuddin, berkunjung ke rumahnya, di Pesantren Al-Muayyad Windan Makamhaji Kartasura Sukoharjo. Saat ditemui, Pak Dian, begitu dia biasa dipanggil, baru selesai mengatur kursi yang akan digunakan untuk acara akhirussanah RA Al-Muayyad Windan, esoknya. Ditemani suguhan lotis dan segelas teh hangat, mereka memulai pembicaraan.
Tulisan anda di media massa, banyak yang bertemakan gagasan Islam yang damai, apa tujuannya?
Saya hanya ingin menggambarkan sedikit tentang nilai-nilai yang saya dapatkan di pesantren. Tentang nilai kebenaran, keluhuran, persaudaraan dan sebagainya. Semuanya saya dapatkan dari para guru saya di pesantren.
Mengenai nilai-nilai di pesantren, bisa sedikit anda jabarkan?
Tentang kebenaran. Kebenaran ini bisa diartikan, yakni kesesuaian dengan 6 hal ini; norma, hukum, ilmu, fakta, realita, dan perikatan.
Kesesuaian perikatan, maksudnya?
Sebagai orang indonesia, kita semestinya juga menyesuaikan diri dengan menerima Pancasila dan UUD, karena itu merupakan sebuah perjanjian atau ikatan dari para pendiri bangsa.
Selain nilai-nilai di pesantren yang anda sebutkan, anda juga menyebut sekilas tentang guru. Siapa guru yang paling menginspirasi anda?
Alm. Kiai Umar Abdul Mannan (Pengasuh Pesantren Al-Muayyad Solo, wafat tahun 1980,-red). Beliau adalah sosok yang menginspirasi. Saya ceritakan salah satu kisah beliau, pernah suatu ketika beliau mendapat kiriman surat bertinta hitam. Diperlihatkannya surat tersebut kepada saya, isinya begitu keras dan kasar bahasanya.
Beliau bertanya, “Saya harus bagaimana?”.
Akhirnya beliau justru sowan ke sang pengirim surat. Meminta klarifikasi atas surat tersebut. dan tidak ada lagi konflik setelahnya. Inilah salah satu teladan keluhuran dari beliau.
Saat ini anda juga dikenal sebagai pemilik sebuah radio, apa motivasi anda mendirikannya?
Saya bukan pemilik, hanya mengelola. Tujuannya untuk mengembangkan sapaan kepada publik Solo Raya. Juga untuk memperkuat warga Nahdliyyin melalui media massa.
Selain itu, saya selalu memegang 3 hal ini, pun dalam mendirikan radio ini. Tiga hal yakni, untuk meraih prestasi vertikal (dapat juga dimaknai mendekat ke Tuhan), kita harus bertindak baik pula ke horizontal (sesama makhluk).
Kedua, bertindaklah inklusif jangan eksklusif. Radio ini bisa berkembang dengan bagus, karena kita merangkul semua. Bahkan pendengar kita mayoritas anak muda. Tapi di sisi lain, kita sisipi dengan siraman rohani.
Ketiga, apabila terjadi konflik senior-yunior, maka senior mesti melakukan afirmasi kepada yunior. Juga dalam setiap hal, mesti ada sinergitas dan kolaborasi antara keduanya.

*
M. Dian Nafi’ lahir di Sragen pada 4 April 1964. Ia adalah anak ketiga dari delapanbersaudara. Ayahnya, Kiai Haji Ahmad Djisam Abdul Mannan, merintis Pesantren An-Najah, Gondang, Sragen, Jawa Tengah, yang kini diasuh kakak iparnya. Sementara kakeknya, Kiai Haji Abdul Mannan, adalah pendiri Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, salah satu pesantren Al-Quran yang terkenal di Solo.
Pertemuannya dengan beberapa tokoh rekonsiliasi kemudian membawanya bergabung dalam Tim Independen Rekonsiliasi Ambon (TIRA), Tim Pemberdayaan Masyarakat Pasca-Konflik (TPMPK) Maluku Utara, dan lembaga-lembaga lainnya seperti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjahmada, Pusat Studi dan Pengembangan Perdamaian (PSPP) Yogyakarta, Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian (PPRP) Jakarta, Crisis Centre Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Common Ground Indonesia, dansebagainya. Pertemuan dan pendidikan yang diikuti di luar negeri adalah Disaster Management Training di Africa University Zimbabwe, Education in Religion for Communitiy Consultation di Agia Napa, Siprus (2001), Asia Africa People Forum di Kolombo (2003), Indonesia Pesantren Program di Amherst, Massachusetts, USA (2003), dan Summer Peace Building Institute di Harrisonburg, Virginia, USA (2005).
Saat ini, ia mengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad Windan, Makamhaji, Sukoharjo, yang merupakan pengembangan dari Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan, Surakarta. (Ajie Najmuddin/Red:Anam)
Read more ...

Tuesday 9 July 2013

Keluarga besar MWCNU Semin Mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa


Read more ...

Da’i Muda Disebar ke Sejumlah Masjid-Mushola

Yogyakarta, NU Online
Dalam rangka meyambut bulan Ramadhan 1434 H, Yayasan Kodama, Krapyak,Yogyakarta menyiapkan sejumlah generasi muda Nahdliyin sebagai calon  da’i  Ramadhan untuk dikirim ke beberapa masjid dan musholla di kota Yogyakarta.

Pada Jumat (5/7) lalu, jumlah da’i Yayasan Kodama sudah mencapai 108 orang yang siap untuk dikirim untuk bertugas.

108 da’i ini akan dikirim untuk menjadi imam tarawih sekaligus mengisi taushiyah singkat atau kultum di 28 masjid atau musholla wilayah DIY.

Program da’i Ramadhan ini adalah merupakan salah satu rutinitas tahunan Yayasan Kodama dalam rangka untuk mencapai satu misinya yaitu, “Menjadi Mitra Masyarakat Mandiri Adil dan Sejahtera”

Jauh sebelum Ramadhan tiba yayasan Kodama melakukan persiapan dan pembekalan untuk para da’inya yang dirangkai dalam satu acara yang bertema “Pengkaderan SDM dakwah secara sistematis dengan pengelolaan organisasi secara profesional.”

Pada hari Sabtu (6/7) kemarin ketua panitia Program Da’i Ramadhan Yayasan Kodama Jamiluddin  turun tangan sendiri menemui para calon da’i dan menyebar surat tugas dan jadwal beserta peta letak masjid atau musholla yang akan diisi oleh para da’i.

Pada bulan Ramadhan ini, para kader da’i muda di kalangan Nahdliyin ini siap menebar rahmah ahlussunnah wal jamaah melalui masjid dan musholla.
Read more ...

Sejarah NU

Kalangan pesantren gigih melawan kolonialisme dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
 
Sementara itu, keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
 
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
 
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
 
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
 
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
 
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
 
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Read more ...

Gus Mus: Warga NU Mesti Hargai Perbedaan

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberikan perhatian khusus terkait kasus pengusuran warga Syiah dan Ahmadiyah di Sampang, mengingat sebagian besar warga Sampang khususnya dan warga Madura pada umumnya adalah warga NU (nahdliyin).
Seperti diwartakan, seruan agar warga Ahmadiyah diusir dari kampungnya di Sampang terus berlangsung. Sementara Kamis (20/6) hari ini, 2000-an orang juga berdemo menyerukan warga Syiah yang berada di GOR pengungsian dikeluarkan dari Sampang.
“Aliran sesat harus diusir dari Sampang. Para kiai akan bertemu di Sampang. Mudah-mudahan kami dapat kepastian soal Syiah,” kata KH. Ali Kharrar, salah satu tokoh yang memberikan orasi sebagaimana dilansir Tempo.co.
Terkait hal tersebut, KH Mustofa Bisri selaku Wakil Rais Aam NU menghimbau agar seluruh warga NU dan tokoh-tokoh NU bisa menghargai perbedaan, karena itulah garis kehidupan berbangsa dan bermasyarakat NU.
“Tokoh-tokoh NU harus bisa menghargai perbedaan keyakinan. Karena itulah khittah NU dan kenyataan Indonesia. Hendaknya tokoh-tokoh NU membaca (dokumen) Khittah, karena semua telah diatur di sana,” kata Kiai yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Mus tersebut.
“Jika ada persoalan, misal ada orang yang dianggap menghina Sahabat Nabi—seperti diklaim beberapa kalangan anti-Syiah, hendaknya dilaporkan ke pihak berwajib saja.”
Dalam perbincangan via telpon dengan NU Online, Gus Mus menggarisbawahi pentingnya warga NU menjaga khittah nahdliyyah, salah satunya dengan bersikap toleran (tasamuh) dan menghargai perbedaan keyakinan, dan tidak mudah diseret dalam konflik karena perbedaan keyakinan. Dan dalam konteks ini, Gus Mus berharap pemerintah berperan dengan semestinya, menghimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan. “Bukan malah memfasilitasi konflik,” katanya.
“Warga NU itu banyak, sebagaimana Islam di Indonesia banyak, ada yang baik ada yang buruk, dan tugas para pengurus dan struktur NU untuk selalu menjaga warganya agar tetap bersikap sebagaimana khittah,” kata Gus Mus. “Kalau perlu prasyarat jadi pengurus NU itu membaca (dokumen) dan memahami khittah,” imbuhnya.

Penuis: Syafi' Alielha
Read more ...

Pengertian Puasa dan Puasa Ramadhan

Kata puasa dalam bahasa Arab adalah “Shiyam atau shaum”, keduanya merupakan bentuk masdar, yang bermakna menahan. Sedangkan  secara istilah fiqh berarti menahan diri sepanjang hari dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat tertentu, menahan dari segala sesuatu yang menyebabkan batalnya puasa bagi orang islam yang berakal, sehat, dan suci dari haid dan nifas bagi seorang muslimah.
Puasa ramadhan hukumnya wajib untuk semua muslim yang memenuhi syarat untuk melakukannya. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan berdasarkan nash al-Qur’an yang sifatnya qot’i dalam kajian ilmu fiqh.

يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ...

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagimu ibadah puasa, sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa...(QS. al-Baqarah, 2: 183)


شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِى اَنْزَلَ فِيْهِ الْقُرْاَنُ هُدًى للِّنَّاسِ وَبَيِنَتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ... 
Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,..(QS. al-Baqarah, 2:185)
(Penulis: KH. Syaifullah Amin/Red: Ulil H)
Read more ...

Monday 8 July 2013

JADWAL SAFARI RAMADHAN MAJELIS WAKIL CABANG NAHDHATUL ‘ULAMA KECAMATAN SEMIN TAHUN 2013 M / 1434 H



JADWAL SAFARI RAMADHAN
LEMBAGA DAKWAH
MAJELIS WAKIL CABANG NAHDHATUL ‘ULAMA KECAMATAN SEMIN
&
PENGURUS CABANG NU KABUPATEN GUNUNGKIDUL
TAHUN 2013 M / 1434 H

NO
NAMA DAI

HARI / TANGGAL
LOKASI
MASJID/ MUSHOLA
KET
1
2
3
4
5
2


1. KH.Mustajib Muhyi
2. Mulyadi, S.Pd
3. Didi Sapto Nugroho
4. Suharjo
5. Suroyo Kweni
6. Badi’ir
Jumat 12 Juli 2013
(Malam Sabtu Pon)
Masjid Ar Rozi Karanggumuk Kemejing
· No. 1 sebagai Kordinator
· Mobil rombongan Bapak Harjo
Jumat 19 Juli 2013
(Malam Sabtu Kliwon)
Nurul Iman
Ngadipiro Lor Rejosari
3
1. Drs. H. Ahsan Hadi
2. Sukardi, S.Ag, MSI
3. H. Sugino, S.Ag
4. Damiri, S.Pd
5. Fathul Muaddib
6. H. Tadlan
Jumat 12 Juli 2013
(Malam Sabtu Pon)
Masjid Nur Hidayah Klampok Kalitekuk
· No. 1 sebagai Kordinator
· Mobil rombongan Bapak Ahsan
Jumat 19 Juli 2013
(Malam Sabtu Kliwon)
Masjid Maulana Ngelo, Candirejo
4
1. K. Ahmad Nur Sahal
2. Suhardi, SE
3. Bakat, S.Pd.I
4. Akhid Sutoyo
5. Edi Darmaja
6. Slamet Puspito
Jumat 12 Juli 2013
(Malam Sabtu Pon)
Masjid Al Huda Dawe Bendung
· No. 1 sebagai Kordinator
· Mobil rombongan Bapak Hardi
Jumat 19 Juli 2013
(Malam Sabtu Kliwon)
Al Mubarok Pencil Bulurejo
5
1. Drs. H. Sukimin
2. Kelik Zainuri
3. Satsunu Pawoko
4. Parna, SH
5. Siswo Dihardjo
6. Ibnu Suparno
Jumat 12 Juli 2013
(Malam Sabtu Pon)
Masjid Al Muttaqin Kembang Sumberejo
· No. 1 sebagai Kordinator
· Mobil rombongan Bapak Pawoko
Jumat 19 Juli 2013
(Malam Sabtu Kliwon)
Masjid Al Hakim Teken Pundungsari

6
1. K. Suyono Tamsi, S.Ag
2. Drs. Muhtar Satuni
3. Nurudin Aziz, S.Ag
4. Ponco Nuraharjo
5. Sukamto, S.Pd.I
6. Kartono.
Jumat 12 Juli 2013
(Malam Sabtu Pon)
Masjid Mujahidin Pugeran Karangsari

· No. 1 sebagai Kordinator
· Mobil rombongan Bp. Nurudin
Jumat 19 Juli 2013
(Malam Sabtu Kliwon)
Masjid Al Ihlas Kepek Semin
7

DAI
PENGURUS CABANG
NAHDLATUL ‘ULAMA
KAB. GUNUNGKIDUL

Sabtu
27 Juli 2013
(Malam Ahad Pon)
1. Baitur Rahim Tangkil

Masjid yang mendapatkan jadwal safari dari PCNU diharapkan menjemput di MWCNU Semin
Jam 17.30 WIB
2. Al Muttaqin Ngepoh
3. Al Hidayah Karang
4. Al Mubarok Tugu
5. At Taqin Kweni
6. Al Hidayah Sempu lor
7. At Taqwa Pucung
8. Al A’la Al Muttaqin  Ngadiloko
9. Al Ihlas Kare
10.Al Huda Pabregan
11.Al Ihlas Kepuh Rejosari
12.Nurul Muttaqin Munggur


Read more ...
Designed By