Surabaya, NU Online
Film
"Sang Kiai" dibuka dengan seorang anak yang diantar ayahnya hendak
mendaftar masuk Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, untuk menuntut
ilmu agama dan sang ayah berkata, "Saya tidak memiliki apa-apa untuk
membayar masuk pesantren".
Langsung saja santri penerima
pendaftaran pun menolak keinginan ayah itu, karena tidak memiliki
kekayaan berupa hasil bumi untuk disetorkan ke pesantren sebagai
sumbangan wali santri untuk menopang kebutuhan konsumsi di pesantren
itu.
Mengetahui hal itu, pengasuh pesantren itu Hadratusy Syaikh
KH Hasyim Asy'ari langsung menepuk bahu santrinya, "Jangan halangi anak
untuk menuntut ilmu. Silakan masuk ke pondok, walaupun tidak memiliki
apa-apa".
Itulah sepenggal pernyataan bijak Sang Kiai yang
membuat si ayah miskin yang tidak memiliki kekayaan hasil bumi
terperangah dan kagum.
Ya, siapa pun yang ingin menuntut ilmu agama kalau orang tuanya tak mampu, dipersilakan masuk ke Tebuireng.
Kendati
menggambarkan kehidupan santri bersarung di pondok pesantren itu, sang
sutradara Rako Prijanto juga menampilkan unsur "entertainment" tentang
percintaan ala santri dan peran perempuan di belakang layar dalam
pergolakan merebut kemerdekaan.
Adalah santri bernama Harun
(diperankan Adipati Doelken) dan santriwati bernama Sarinah (diperankan
Meriza Febriani) yang saling jatuh cinta pada pandangan pertama.
Kisah
yang tak kalah romantisnya dengan film lain itu ternyata diketahui oleh
Kiai Hasyim Asy'ari. "Sudah sana, kamu besok ke rumahnya. Nanti, aku
yang melamarnya," katanya disambut sorak kegirangan Harun.
Sosok
Harun dalam film Sang Kiai itu mungkin imajiner, tapi Harun
menggambarkan sejarah tak tertulis tentang siapa yang membunuh Brigadir
Jenderal AWS Mallaby di Jembatan Merah, Surabaya.
Dalam film itu,
Harun yang merupakan anggota Laskar Hizbullah dari Jombang (santri
Tebuireng) tampak mendatangi Brigjen Mallaby di dalam mobilnya, lalu
menembaknya dari jarak sangat dekat hingga tewas.
Suara tembakan
itu didengar pengawal sang jenderal yang kebetulan berada di depan mobil
itu, lalu sang pengawal berbalik ke belakang mobil dan melontarkan
granat di bawah mobil itu, sehingga Harun yang bersembunyi di balik
mobil sang jenderal pun tewas di tempat kejadian perkara (TKP).
Sosok
Harun itu mengoyak lembaran pembelajaran sejarah yang sampai saat ini
masih misteri, seperti misteri siapa sang pahlawan yang nekat naik Hotel
Yamato (kini Hotel Majapahit) dan merobek bendera warna biru pada
bendera Bangsa Belanda (merah, putih, biru).
Namun, cerita yang
berkembang di masyarakat Mojokerto dan Jombang memang mengarah kepada
anggota Laskar Hizbullah yang membunuh Brigjen AWS Mallaby, meski sulit
terungkap nama anggota Laskar itu, apakah dari Jombang atau Mojokerto.
Jadi,
santri Tebuireng yang membunuh Brigjen AWS Mallaby adalah mozaik
sejarah tak tertulis yang ditemukan dalam versi sutradara, Rako
Prijanto.
"Saya membuat film itu selama tiga tahun, saya
mengalami kesulitan, karena bahannya juga sulit dilacak, karena itu saya
membaca disertasi tentang KH Hasyim Asy'ari, saya melakukan survei
dengan mewawancarai beberapa saksi sejarah, dan saya pun tinggal
beberapa waktu di Tebuireng," kata Rako dalam bedah film di Yayasan
Khadijah Surabaya, 18 Mei.
Ya, film "Sang Kiai" mengungkap
sejarah tak tertulis, meski "sejarah" itu belum faktual betul, karena
santri atau kiai itu sangat ikhlas dalam berjuang, sehingga catatan
tertulis dalam sejarah pun nyaris tak ada atau sulit dilacak.
Peran perempuan
Film yang berdurasi 120 menit itu juga menampilkan fakta yang tak
tertulis dalam sejarah tentang peran perempuan di belakang layar yang
justru signifikan dalam perjuangan merebut kemerdekaan.
"Setelah
tiga kali nonton film itu, saya merasakan betul bahwa di belakang tokoh
besar selalu ada perempuan perkasa yang memberi semangat untuk komitmen
pada cinta Tanah Air dan membelanya," kata Sekjen DPP PKB HM Imam
Nahrawi di Surabaya, 1 Juni lalu.
Ya, ada sejumlah orang dekat
Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy'ari yang juga mewarnai film itu, seperti
KH Wahid Hasyim (diperankan Agus Kuncoro) dan Nyai Kapu (diperankan
Christine Hakim) yang mewakili sosok istri sang kiai bernama Masruroh
dari Desa Kapurejo, Kediri.
Bahkan, mantan Presiden KH
Abdurrahmad Wahid alias Gus Dur juga ditampilkan secara sekilas dalam
film itu, tentu saat Gus Dur masih kecil dan dibawa sang nenek untuk
bersembunyi ke kampung halamannya di Kediri di tengah medan perjuangan.
Saat
itu digambarkan tentara Jepang menyerbu Tebuireng dan menembakkan
senjata karena para santri tidak mau memberi tahu dimana keberadaan Sang
Kiai.
Jepang menuduh KH Hasyim Asy'ari menghasut para santri
untuk melawan Nippon (tentara Jepang) dengan menyulut kerusuhan di
Cukir, sebuah wilayah pabrik tebu di sekitar Tebuireng, Jombang.
Saat
tentara Jepang mengamuk dengan cara menembakkan senjata ke arah pondok,
Hasyim Asy'ari pun keluar dari ruangan dengan didampingi orang dekatnya
KH Wahid Hasyim.
"Saya Hasyim Asy'ari yang kalian cari," kata
Asy'ari dengan lantang menggunakan sorban dan pakaian serba putih dengan
didampingi puluhan santrinya.
Pimpinan tentara Jepang meminta Kiai Hasyim dibawa untuk ditahan, tapi semua santri melakukan perlawanan.
Perlawanan
tak seimbang, karena tentara Jepang menggunakan popor senjata untuk
memukuli dan menginjak-injak para santri sehingga banyak yang
berdarah-darah mempertahankan sang kiai.
Akhirnya, Sang Kiai
Hasyim Asy'ari tak tega melihat santrinya "digebuki" dan "ditendangi",
maka sang kiai pun membiarkan dirinya dibawa tentara Jepang dengan
menggunakan truk ke penjara untuk ditahan.
Di tahanan melalui
seorang penerjemah, sang kiai Hasyim Asy'ari diinterogasi untuk mengakui
kesalahannya dan tunduk pada perintah Jepang serta mau melakukan
"Seikerei" (menyembah Dewa Matahari).
Saat interogasi
berlangsung, azan terdengar mengumandang. Hasyim dengan santainya tanpa
takut pun berdiri meninggalkan komandan tentara Jepang yang sedang
menginterogasi serta penerjemah yang seorang Muslim.
"Kalau kamu
seorang Muslim saat mendengarkan azan harus tinggalkan semua kegiatan.
Itu adalah panggilan Allah," kata Hasyim kepada sang penerjemah.
Hasyim
Asy'ari pun melenggang pergi untuk shalat. Si interogator Jepang dan
penerjemah terbengong-bengong melihat sikap religius Hasyim. Sikap
segera dalam memenuhi panggilan Allah (azan) itu juga ditunjukkan sang
kiai saat sakit.
Dalam waktu yang sama, para santri Tebuireng pun
tak tinggal diam, apalagi saat mengetahui Sang Kiai disiksa tentara
Jepang dengan dipukuli tangannya dengan palu dan suaranya disiarkan
lewat pengeras suara. "Allah... Allah....," begitu suara sang kiai yang
terdengar.
Keadaan itu memaksa para santri mengupayakan
pembebasan sang kiai dengan unjuk rasa hingga jatuh korban, kemudian
mereka pun melakukan upaya damai dengan membaca shalawat di depan
penjara hingga akhirnya Jepang memindahkan sang kiai ke penjara di
Mojokerto, namun para santri pun berbondong-bondong ke Mojokerto.
"Saya
titip bapakmu, kabari segera kondisi bapakmu ya," kata Nyai Kapu kepada
anaknya KH Wahid Hasyim yang hendak ke Jakarta bersama KH Wahab
Chasbullah dari Pesantren Denanyar, Jombang untuk berunding dengan
petinggi militer Jepang.
Ya, pendudukan Jepang ternyata tidak
lebih baik dari Belanda. Jepang mulai melarang pengibaran bendera merah
putih, melarang lagu Indonesia Raya dan memaksa rakyat Indonesia untuk
melakukan Sekerei. Itulah yang ditentang KH Hasyim Asyari, karena
tindakan itu menyimpang dari akidah Islam yang hanya menyembah Allah
SWT.
Tindakan yang berani itulah yang membuat Jepang menangkap KH
Hasyim Asyari, namun ikhtiar diplomatis dari anaknya, KH Wahid Hasyim,
tak sia-sia. Sang Kiai Hasyim Asy'ari pun dibebaskan dan para santri pun
gembira menyambut di depan pintu gerbang penjara dengan melantunkan
shalawat. Nyai Kapu pun merawat luka-luka sang kiai dengan sabar.
Perawatan
sang kiai itu dilakukan Nyai Kapu sambil berdialog untuk menyemangati
terus, termasuk ketika sang kiai sakit dan disalahpahami santrinya
bernama Harun, karena sang kiai dianggap mengikuti keinginan Jepang
untuk menyerukan masyarakat menanam hasil bumi, lalu hasilnya disetorkan
ke Jepang.
Bahkan, Harun pun memilih untuk keluar dari
pesantren, karena sang kiai Hasyim Asy'ari membiarkan KH Zaenal Mustofa
yang menentang penyetoran hasil itu dipenggal kepalanya oleh tentara
Jepang, apalagi sang kiai juga memenuhi keinginan Jepang untuk
mengizinkan santri berlatih militer sebagai bagian dari tentara Jepang,
meski keinginan keluar dari pesantren itu sempat dicegah perempuan yang
juga istri Harun sendiri, bahkan temannya.
"Tidak semua orang
tahu, bapak (panggilan Nyai Kapu kepada suaminya) membiarkan
pemengggalan Kiai Zaenal Mustofa, karena setuju dengan sikapnya. Bapak
juga mengizinkan santri dilatih militer Jepang bukan untuk ikut Jepang,
tapi membentuk laskar tersendiri, yakni Hizbullah. Laskar yang kelak
dibutuhkan saat melawan penjajah," ucap Nyai Kapu.
"Fardlu Ain"
Jepang
kalah perang, Sekutu mulai datang. Soekarno sebagai presiden saat itu
mengirim utusannya ke Tebuireng untuk meminta Hadratusy Syaikh KH Hasyim
Asy'ari untuk membantu mempertahankan kemerdekaan.
Sang Kiai
Hasyim Asyari menjawab permintaan Soekarno dengan mengeluarkan Resolusi
Jihad pada 22 Oktober 1945 yang akhirnya mendorong barisan santri dan
massa penduduk Surabaya yang didukung pemuda dari berbagai Tanah Air pun
berduyun duyun tanpa rasa takut melawan sekutu di Surabaya.
Gema
Resolusi Jihad yang intinya meneguhkan bahwa membela Tanah Air adalah
"fardlu ain" (kewajiban individu) dalam radius tertentu itu pun menjadi
semangat spiritual keagamaan membuat pemuda-pemuda Indonesia berani
mati.
Para santri yang sebelumnya telah terlatih militer oleh
tentara Jepang pun atas ridho Hasyim Asy'ari pun pergi ke Surabaya untuk
berperang melawan tentara sekutu. Laskar Hizbullah bersama santri dan
masyarakat selanjutnya tergambarkan dalam pertempuran 10 November 1945
di Surabaya yang berujung pada tewasnya Brigjen AWS Mallaby.
Resolusi
Jihad itu pun merupakan satu fakta lagi dari sejarah yang tak tertulis,
karena sejarah lebih menggambarkan semangat Arek-Arek Suroboyo dalam
Pertempuran 10 November 1945 yang membuat tentara Sekutu akhirnya
bertekuk lutut, meski Surabaya sempat dibombardir akibat tewasnya
jenderal terbaik Sekutu itu.
"Menurut saya, film Sang Kiai yang
dapat ditonton khalayak umum di bioskop mulai 30 Mei 2013 itu secara
umum mengajarkan pentingnya tiga unsur penting yakni kearifan, cinta,
dan politik," ujar warga Surabaya, Arfani.
Menjadi seorang
pemimpin, katanya, haruslah arif dan penuh cinta ketika berkuasa, namun
juga harus mampu menguasai ilmu perpolitikan agar tidak terjerumus dan
dipolitisasi oleh pihak lain.
"Itulah yang dapatkan dari diri
Sang Kiai. Beliau arif, cinta kepada keluarga, santri, dan
masyarakatnya. Lebih dari itu, beliau memiliki ilmu politik dahsyat yang
membuat Belanda, Jepang, dan Inggris pun ampun-ampun," ujarnya.
Hal
senada diungkapkan aktris ternama Christine Hakim yang cukup piawai
memerankan Nyai Kapu alias Nyai Masruroh, meski dia berasal dari Jambi,
namun dia pun menyempatkan diri berkunjung ke Desa Kapurejo di Kediri
yang merupakan daerah kelahiran istri dari KH Hasyim Asy'ari itu.
Didampingi
sutradara Rako Prijanto dan aktor Ikranegara (pemeran KH Hasyim
Asy'ari) dan Agus Kuncoro (pemeran KH Wahid Hasyim) saat bedah film di
hadapan ratusan pelajar SMP-SMA di Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial
NU (YTPSNU) "Khadijah" Surabaya, ia menganggap Mbah Hasyim tidak hanya
menderita akibat penjajahan, melainkan juga kelaparan akibat penjajah
meminta hasil bumi kepada pribumi.
"Buktinya, Nyai Kapu pernah
menjual kain batik untuk membeli beras. Saya kira, Mbah Hasyim bukan
hanya milik warga NU, melainkan milik bangsa dan negara, bahkan dunia,
karena kekuatan angkatan perang penjajah yang bersenjata lengkap itu
harus tunduk kepada para santri Mbah Hasyim yang bersenjata ala
kadarnya," paparnya.
Selain itu, Mbah Hasyim mengajarkan jihad
dalam arti yang benar dan utuh. "Jihad yang bukan hanya membela agama,
tapi juga membela Tanah Air itu membuat kita bisa bangga jadi orang
Indonesia. Ya, keberadaan negara juga penting untuk bisa bebas
mengamalkan agama," urai aktris Indonesia pertama yang main film
Hollywood berjudul 'Eat Pray Love' bersama artis Julia Roberts di Bali
itu.
Ya, Sang Kiai Hasyim Asy'ari konsisten menerapkan Pancasila.
Ia amalkan sila kedua (Kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila
kelima (Keadilan Sosial) sekaligus, bukan seperti FPI atau MUI yang
gasak sana, gasak sini.
Sang Kiai Hasyim Asy'ari memandang
kemaksiatan sebagai ladang dakwah dan jihad ekonomi, di saat Tebuireng
penuh dengan pelacuran dan perjudian, dia bukan lantas menghancurkan
tempat-tempat pelacuran dan perjudian, tapi dia dakwahkan bahaya
perjudian dan memberikan solusi ekonomi berupa perdagangan kepada
penduduk setempat agar terentas dari pelacuran. Pesantrennya memiliki
instrumen ekonomi.
Ia juga pengamal sila ketiga (persatuan)
dengan nasionalisme dalam semangat antipenjajahan. Hubbul wathan minal
iman, membela negara adalah bagian dari iman. Santri-santrinya
diwajibkannya ikut melawan penjajah baik secara langsung maupun tidak
langsung. Kiai Hasyim pun aktif berjuang, bahkan sempat dipenjara
beberapa lama.
Sila keempat Pancasila juga diamalkan yakni
penghormatan terhadap musyawarah dan pluralisme dalam perwakilan. Kiai
Hasyim menentang Raja Saudi yang tidak memperbolehkan Islam selain Sunni
untuk pergi ke Mekkah. Bagi Kiai Hasyim, semua jenis tafsiran Islam
harus dihormati.
Soal sila pertama tak perlu diragukan lagi,
karena Mbah Hasyim tidak hanya sangat menghormati panggilan Allah lewat
azan, namun ia juga rela dipenjara karena mempertahankan akidahnya,
bahkan nyawa pun siap dikorbankan untuk itu.
Tidak hanya tegas
dalam berbicara, Mbah Hasyim juga merupakan sosok yang berani dalam
tindakan. "Kita harus malu dengan Mbah Hasyim, karena apa yang kita
lakukan sekarang, ternyata tidak ada apa-apanya dengan apa yang beliau
lakukan," tutur Christine Hakim yang meraih enam Piala Citra untuk
Pemeran Utama Wanita Terbaik itu.
Redaktur: Mukafi Niam
Sumber : Antara