SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG NAHDLATUL 'ULAMA KECAMATAN SEMIN GUNUNGKIDUL

Monday 6 July 2015

Malam Lailatul Qadar menurut keterangan Kitab Syarh al-Shadr bi Zikr Lail al-Qadr fadhail wa ‘Alamah Lailah al-Qadr, karya Waliuddin al-Iraqi al-Syafi’i.

A.      Perbedaan pendapat sebab penamaan malam lailatul qadar
1.      Dinamakan dengan malam lailatul qadar, karena Allah Ta’ala mentaqdirkan rezeki, ajal dan kejadian alam semuanya pada malam tersebut. Maksudnya nyata taqdir tersebut kepada malaikat pada malam lailatul qadar, karena taqdir Allah, sifatnya qadim. Diriwayat pendapat ini dari Ibnu Abbas, Qatadah dan selainnya. Al-Nawawi menisbahkannya kepada pendapat ulama.
2.      Karena malam lailatul qadar malam yang mempunyai qadar (mulia)
3.    Karena pada malam ini, manusia yang menghidupkannya mengusahakan qadar yang mulia yang tidak ada sebelumnya dan berusaha menambah kemuliaan di sisi Allah
4. Karena beramal pada malam ini mendapat pahala yang besar (qadar), karena itu, Allah mengkhususkan umat ini dengan malam lailatul qadar
B.       Sebab dikhususkan umat Muhammad dengan malam lailatul qadar
Para ulama berbeda pendapat mengenai ini :
1.      Riwayat Malik bin Anas dalam al-Muwatha’ :
إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيَ أَعْمَارَ النَّاسِ قَبْلَهُ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ فَكَأَنَّهُ تَقَاصَرَ أَعْمَارَ أُمَّتِهِ أَنْ لَا يَبْلُغُوا مِنْ الْعَمَلِ مِثْلَ الَّذِي بَلَغَ غَيْرُهُمْ فِيْ طُولِ الْعُمْرِ فَأَعْطَاهُ اللَّهُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW diperlihatkan umur-umur manusia sebelum beliau atau sesuatu yang Allah kehendaki dari hal tersebut. Beliau menganggap bahwa umur umatnya pendek tidak mencapai amalan yang telah dicapai oleh selain umat beliau yang berumur panjang. Maka, kepada beliau, Allah memberikan lailatul qadr yang lebih baik daripada seribu bulan.
2.     Diriwayat oleh Turmidzi dalam Jami’nya dari Yusuf bin Sa’ad, beliau berkata, “Seorang lelaki berdiri kepada Al-Hasan bin Ali setelah (Al-Hasan) membaiat Muawiyah. (Orang tersebut) berkata, ‘Engkau telah mencoreng wajah kaum mukminin (atau dia berkata, ‘Wahai orang yang mencoreng wajah kaum mukminin’),’ maka (Al-Hasan) berkata,
لاَ تُؤَنِّبْنِيْ رَحِمَكَ اللَّهُ فَإِنَّ النَّبِىَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أُرِىَ بَنِى أُمَيَّةَ عَلَى مِنْبَرِهِ فَسَاءَهُ ذَلِكَ فَنَزَلَتْ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ يَا مُحَمَّدُ يَعْنِى نَهْرًا فِي الْجَنَّةِ وَنَزَلَتْ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ يَمْلِكُهَا بَعْدَكَ بَنُو أُمَيَّةَ يَا مُحَمَّدُ
Artinya : Janganlah engkau mencela saya - semoga Allah merahmatimu -sSesungguhnya Bani Umayyah diperlihatkan kepada beliau, sedang beliau berada di atas mimbar, maka hal tersebut tidak menyenangkan beliau. Kemudian, turunlah “innâ a’thainâkal kautsar”. Wahai Muhammad, yakni sebuah sungai di surga. Turun pula “innâ anzalnâhu fî lailatil qadr. Wa mâ adrâka mâ lailatul qadr. Lailatul qadri khairun min alfi syahr”. Wahai Muhammad, hal tersebut dimiliki oleh Bani Umayyah setelahmu.’.
Berkata Abu Qasiim bin Fadhal, salah seorang perawinya, kami telah menghitungnya yaitu seribu bulan tidak kurang dan tidak lebih. Aku katakan : Ya, mulai tahun jama’ah (tahun Hasan membai’at Mu’awiyah) sampai terbunuhnya Marwan al-Ja’dy raja terakhir Bani Umayah adalah qadar ini, yaitu seribu bulan, yakni delapan puluh tiga sepertiga tahun.
Turmidzi mengatakan, hadits ini gharib.
C.      Turun Malaikat dan Ruh
Dalam surat al-Qadr disebutkan turun Malaikat dan ruh pada malam lailatul qadar memberkan salam kesejahteraan (al-tahyah) atas orang-orang yang beriman. Terjadi perbedaan pendapat apa yang dimaksud dengan ruh di sini, pendapat pertama : Jibril a.s., kedua : sekelompok malaikat, ketiga : sekelompok makhluq langit yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan malaikat.
D.      Malam lailatul qadar kekal sepanjang masa
Telah terjadi ijmak ulama bahwa malam lailatul qadar itu ada sepanjang masa. Malam tersebut tidak akan hilang, tetapi cuma tidak tertentu waktunya. Abu Hanifah mengatakan pendapat yang mengatakan malam lailatul qadar hilang merupakan pendapat yang tertolak.
E.       Terjadi khilaf ulama dalam menentukan malam lailatul qadar
Terjadi perbedaan pendapat ulama dalam menentukan malam lailatul qadar dalam dua puluh empat pendapat, yaitu :
1.   Wujud pada satu malam tertentu dan itu dapat terjadi dalam sepanjang tahun. Ini merupakan pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah. Pendapat ini didukung oleh pernyataan Ibnu Mas’ud, berbunyi :
من يقم الحول يصيبها
Artinya : Barangsiapa yang mendirikan malam sepanjang tahun, maka dia akan mendapatkan malam lailatul qadar
Namun dalam Shahih Muslim dari Zar ibn al-Jaisy, mengatakan :
 “Aku bertanya kepada Ubay bin Ka’ab sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud mengatakan :
من يقم الحول يصيب ليلة القدر
    Maka Ubay mengatakan : “Ibnu Mas’ud memaksudkan supaya manusia tidak lalai, padahal  beliau mengetahui bahwa malam lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, sepuluh yang akhir dan malam kedua puluh tujuh.”
Pemahaman Ubay bin Ka’ab ini didukung oleh riwayat Abu ‘Aqrab dalam Musnad Ahmad, beliau mengatakan :
“Suatu pagi pada bulan Ramadhan, aku pergi menemui Ibnu Mas’ud di atas rumahnya dalam keadaan duduk, aku mendengar suaranya mengatakan, “Maha Benar Allah dan telah menyampaikannya oleh rasul-Nya”. Maka aku katakan : “Aku telah mendengar engkau mengatakan : “Maha Benar Allah dan telah menyampaikannya oleh rasul-Nya”, lalu Ibnu Mas’ud mengatakan , sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Lailatul qadar adalah malam tujuh yang akhir yang terbit matahari pada paginya yang bersih tanpa sinarnya (yang terik), aku melihat dan mendapatinya.”
            Riwayat yang serupa dengan ini juga diriwayat oleh al-Bazar dalam Musnadnya.
2.      Pendapat Ibnu Umar dan satu jama’ah sahabat : terjadi malam lailatul qadar sepanjang bulan Ramadhan. Dalam sunan Abu Daud dari Ibnu Umar mengatakan :
“Ditanyai Rasulullah SAW mengenai malam lailatul qadar, pada waktu itu, aku  mendengarnya Rasulullah bersabda : “Lailatul qadar terjadi pada semua bulan Ramadhan.”
            Hadits ini boleh jadi bermakna berulang-ulang pada setiap tahun pada bulan Ramadhan.
3.      Malam lailatul qadar terjadi pada malam pertama bulan Ramadhan. Ini merupakan pendapat Abu Raziin al-‘Aqiily, salah seorang sahabat Nabi SAW.
4.    Terjadi pada sepuluh pertengahan dan sepuluh akhir bulan Ramadhan. Dalil yang digunakan adalah perkataan Jibril kepada Nabi SAW manakala beliau beri’tikaf pada sepuluh pertengahan : “Sesungguhnya yang engkau cari ada dihadapanmu.”
5.        Terjadi pada sepuluh yang akhir saja, karena hadits Nabi SAW :
“Carilah pada sepuluh yang akhir.”
6.        Khusus terjadi pada malam ganjil dari sepuluh yang akhir. Hadits yang mendukungnya adalah sabda Nabi SAW “Carilah pada sepuluh yang akhir.pada ganjil.” Hadits yang serupa dengan ini ada dalam Musnad Ahmad dan Mu’jam al-Thabrani.
7.        Khusus pada malam genap sepuluh yang akhir. Ini didasarkan kepada perkataan Abu Sa’id al-Khudri :
“Ditanyai kepada Abu Sa’id al-Khudry apa yang dimaksud dengan malam ke sembilan, ketujuh dan kelima?" beliau menjawab, "Jika malam kedua puluh satu telah lewat, maka yang berikutnya adalah malam ke dua puluh dua, dan itulah yang dimaksud dengan malam ke sembilan. Dan apabila malam ke dua puluh tiga telah berlalu, maka berikutnya adalah malam ke tujuh, dan jika malam ke dua puluh lima telah berlalu, maka berikutnya adalah malam ke lima."
8.    Terjadi pada malam ketujuh belas. Pendapat ini diriwayat dari Zaid bin Arqam dan juga dari Ibnu Mas’ud serta Hasan Basri.
9.        Terjadi pada malam kesembilan belas
10.    Dicari pada malam ketujuh belas, dua puluh satu atau malam kedua puluh tiga. Dihikayah pendapat ini dari Ali dan Ibnu Mas’ud juga.
11.    Terjadi pada malam kedua puluh satu, berdasarkan riwayat shahih dari Abu Sa’id al-Khudry, Rasulullah SAW bersabda :
وَإِنِّى رِيتُهَا لَيْلَةَ وِتْرٍ وَأَنِّى أَسْجُدُ صَبِيحَتَهَا فِى طِينٍ وَمَاءٍ ». فَأَصْبَحَ مِنْ لَيْلَةِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَقَدْ قَامَ إِلَى الصُّبْحِ فَمَطَرَتِ السَّمَاءُ فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فَأَبْصَرْتُ الطِّينَ وَالْمَاءَ فَخَرَجَ حِينَ فَرَغَ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ وَجَبِينُهُ وَرَوْثَةُ أَنْفِهِ فِيهِمَا الطِّينُ وَالْمَاءُ وَإِذَا هِىَ لَيْلَةُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ.
Artinya : Aku pernah melihat lailatul qadar pada malam ganjil, yang pada pagi harinya aku bersujud pada tanah yang basah, - memang pagi-pagi malam kedua puluh satu beliau shalat Shubuh, sedangkan hari hujan sehingga masjid tergenang air, aku melihat tanah dan air – Setelah selesai shalat Shubuh, Rasulullah SAW keluar, sedangkan dikening dan hidungnya ada tanah yang basah. Malam itu adalah malam kedua puluh satu dari sepuluh yang akhir.
12. Terjadi pada malam kedua puluh tiga, yakni pendapat sekelompok banyak para sahabat dan selain mereka. Dalilnya hadits shahih Muslim riwayat Abdullah bin Unais, Rasulullah SAW bersabda :
أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَاذا في صبيْحَتهَا أَسْجُدُ فِى مَاءٍ وَطِينٍ ». قَالَ فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ
Artinya : Aku diperlihatkan malam lailatul qadar, kemudian aku lupa dan pada waktu Shubuh, aku bersujud atas tanah yang basah. Abdullah bin Unais berkata : “Pada malam kedua puluh tiga itu terjadi hujan”.
13.   Terjadi pada malam kedua puluh empat. Pendapat ini diriwayat dari Bilal, Ibnu Abbas, al-Hasan dan Qatadah.
14.    Terjadi pada kedua puluh tiga atau kedua puluh tujuh. Pendapat ini dihikayah dari Ibnu Abbas.
15.    Terjadi pada malam kedua puluh tujuh. Ini merupakan pendapat sekelompok yang banyak dari sahabat Nabi dan selain mereka. Ubay bin Ka’ab r.a. bersumpah tidak mengecualikan sesungguhnya malam lailatul qadar terjadi pada malam kedua puluh tujuh sebagaimana yang telah tsabit dalam al-Shahih.
16.    Terjadi pada akhir bulan.
17.    Terjadi pada malam kedua puluh dua atau kedua puluh tiga
18.    Terjadi pada malam kedua puluh satu, kedua puluh tiga, kedua puluh lima, kedua puluh tujuh atau malam terakhir.
19.    Terjadi pada malam kedua puluh satu, kedua puluh tiga atau kedua puluh lima
20.    Terjadi pada malam kedua puluh tiga atau kedua puluh lima.
21.    Terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan
22.    Terjadi pada malam ganjil sepuluh yang akhir, malam ketujuh belas atau kesembilan belas.
Perbedaan pendapat di atas didasarkan kepada bahwa malam lailatul qadar itu wujud pada malam tertentu sebagaimana mazhab Syafi’i. Menurut pendapat yang shahih dalam mazhab Syafi’i, malam lailatul qadar khusus pada sepuluh yang akhir dan malam ganjil lebih diharapkan daripada malam genap dan malam kedua puluh satu dan dua puluh tiga lebih diharapkan muncul dibandingkan malam lainnya. Pendapat ini merupakan pendapat yang bagus dianggap sebagai pendapat yang kedua puluh tiga (ke-23). Sebelumnya ada pendapat yang mengatakan bahwa malam lailatul qadar sudah hilang, maka pendapat yang terakhir ini merupakan pendapat yang kedua puluh empat (ke-24)
F.       Apakah malam lailatul qadar berpindah dari satu malam kepada malam lainnya.
Satu jama’ah para ulama berpendapat bahwa malam lailatul qadar berpindah-pindah, sehingga malam lailatul qadar dalam suatu tahun berbeda dengan malam lailatul qadar tahun yang lain dan seterusnya. Ini merupakan pendapat Malik, Sufyan al-Tsury, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsur dan lainnya. Ibnu Abd al-Bar menisbahkan pendapat ini kepada Syafi’i. Pendapat ini juga diikuti oleh al-Muzani dan Ibnu Khuzaimah dan pilihan al-Nawawi dan lainnya karena mengkompromikan di antara hadits-hadits yang datang mengenai malam lailatul qadar. Zhahir hadits-hadits tersebut saling pertentangan yang tidak mungkin dikompromikan kecuali dengan jalan tersebut (malam lailatul qadar berpindah-pindah).
Ibnu Hazm al-Zhahiri berpendapat bahwa malam lailatul qadar berkisar pada malam kedua puluh satu dan malam ganjil sesudahnya apabila bulan genap tiga puluh hari dan malam kedua puluh dan malam genap sesudahnya apabila bulan kurang dari tiga puluh.
G.      Tanda-tanda malam lailatul qadar
Dalam Musnad Ahmad dengan isnad yang baik dari ‘Ubadah bin al-Shamid r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda : 
إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيْهَا قَمَراً سَاطِعاً سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ, لاَ بَرْدَ فِيْهَا 
وَلاَ حَرَّ, َلاَ محِلُّ لِكَوْكَبٍ يُرْمَى بِهِا حَتَّى يصْبِحَ, وَإِنَّ من أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيْحَتَهَا
 تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً, لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ, وَلاَ يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ
 مَعَهَا يَوْمَئِذٍ  
Artinya : Sesungguhnya tanda-tanda Lailatul Qadr adalah malam cerah, terang, 
seolah-olah ada bulan, malam yang tenang dan tentram, tidak dingin dan tidak pula panas.                
Pada malam itu tidak dihalalkan dilemparnya bintang, sampai pagi harinya. 
Dan sesungguhnya, setengah dari tanda Lailatul Qadr adalah, matahari di pagi harinya               
terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula 
dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu       
 Qadhi Ibnu ‘Iyadh mengatakan dua pendapat kenapa pada pagi lailatul qadar, matahari 
terbit tidak ada terik panasnya, yaitu : pertama, itu sebagai tanda malam lailatul qadar yang 
dijadikan Allah SAW, kedua, hal itu terjadi karena banyak hilir mudik, turun kebumi dan naik 
malaikat yang dapat menutup panas matahari dengan sayapnya dan tubuhnya yang lembut.  

Read more ...

Banyak Kalangan Salah Paham atau Tak Mau Paham Islam Nusantara

Jakarta, NU Online
Wacana Islam Nusantara belakangan bergema di Indonesia setelah menjadi tema utama Muktamar ke-33 NU. Sayangnya, banyak kalangan yang salah paham atau memang tak mau paham. Mereka menganggap Islam Nusantara sebagai aliran baru atau mazhab baru bahkan ada yang menuduh sinkretis antara Islam dan agama Jawa.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan apa yang dikatakan orang-orang tersebut sama sekali tidak benar. “Ini bukan aliran baru, kita tetap Islam aswaja yang berpegang teguh pada mazhab Asy’ari dan Syafii,” katanya di gedung PBNU, Jum’at (3/7).

Ia menjelaskan, Islam Nusantara merupakan Islam yang menghargai budaya lokal. Secara umum, masyarakat Nusantara sudah memiliki budaya yang beragam, tradisi yang beragam sebelum kedatangan Islam.

“Islam datang tidak menghapus budaya, tidak memusuhi khazanah peradaban. Tidak menyingkirkan tradisi yang ada, asalkan jelas tidak bertentangan dengan Islam. Kalau ritual hubungan seks bebas atau minum arak, itu kita tidak menerima.”

“Selama tradisi tidak bertentangan dengan prinsip kita, maka Islam melebur dengan tradisi tersebut karena dakwah di Nusantara itu pendekatannya pendekatan budaya, bukan pendekatan senjata seperti di Timur Tengah,” tandasnya.

Dengan strategi dakwah kebudayaan seperti itu, pelan-pelan budaya yang ada di Nusantara sekarang sudah bernapaskan Islam. “Islam menjadi kuat karena menyatu dengan budaya, budaya menjadi Islami karena disitu ada nilai Islam.”

Ia mencontohkan transformasi tradisi non Islam yang kemudian diislamkan seperti pemberian sesajen kepada para dewa yang kemudian menjadi slametan. Slametan tujuh bulan kehamilan tadinya budaya Jawa, kemudian diislamkan dengan nilai Islam, salah satunya dengan membacakan surat Lukman pada peringatan tujuh bulan tersebut, supaya anaknya baik, taat pada orang tua sebagaimana Lukmanul Hakim dalam kisah Al-Qur’an.

“Jadi budaya yang sudah ada kita masuki dengan nilai Islam. Ini berangkat dari sinergi antara teologi dan budaya, maka NU memberi nama Islam Nusantara,” tegasnya. (Mukafi Niam)
Read more ...

Hikmah Lailatul Qadar

Oleh M. Ulinnuha Husnan
--Ada baiknya sejenak kita tundukkan hati dan pikiran untuk merenungkan keagungan lailatul qadar. Lailatul qadar adalah peristiwa luar biasa dan penuh misteri. Banyak kejadian mahadahsyat yang berlangsung di malam itu. Salah satunya yang paling fenomenal adalah proses penurunan Al-Quran kepada Nabi Muahammad Saw. Data-data teologis dan historis merekam kejadian itu (lihat misalnya QS. Al-Qadr [97]:1-5; QS. Ad-Dukhân [44]: 4-5), sehingga tak ada tempat bagi umat manusia untuk meragukan atau bahkan mendustakannya.
Kemahadahsyatan malam seribu bulan itu terlihat secara tekstual misalnya pada kata lailatul qadr yang diulang sampai tiga kali dalam surat Al-Qadr. Karena status dan kedudukannya yang begitu agung, tak berlebihan bila Rasul Saw kerap memerintahkan kepada diri, keluarga dan umatnya agar selalu memperbanyak amal saleh dan ibadah pada malam itu.
عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر الأواخر شدَّ مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله. رواه البخاري مسلم
Dari Aisyah, ia berkata bahwa Nabi Saw ketika memasuki sepuluh malam terakhir [di bulan Ramadhan], beliau mengencangkan perutnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Apa yang dilakukan Rasul Saw ini menunjukkan betapa banyak hikmah dan rahasia di balik malam seribu bulan. Sehingga tidak saja dirinya yang diajak untuk menghidupkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, tapi juga keluarganya. Hanya saja daya tangkap atas rahasia dan hikmah itu tentu berbeda antara satu dengan yang lain, tergantung dari tingkat kejernihan pikiran dan kesucian hati seseorang.

Hikmah Kekinian Lailatul Qadar
Dalam konteks kekinian, sejatinya banyak hikmah, pesan dan pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa lailatul qadar. Pertama, lailatul qadar mengajarkan kepada kita tentang pentingnya fungsi manajeman hidup yang -menurut Henri Fayol (1841–1925 M)- meliputi perencaan (planning), pengorganisasian (organizing), dan pengawasan (controlling) dan evaluasi (evaluating). Pesan ini terinspirasi dari pemahaman atas makna dasar term lailatul al-Qadr yang berarti malam penentuan/ketetapan (takdir). Menurut pemahaman ini, maka pada malam itulah Allah “merencanakan”, “mengorganisasikan”, “mengawasi” sekaligus “mengevaluasi” tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) serta hak seluruh umat manusia. Inilah kesan yang tersirat dari firman Allah; fîhâ yufraqu kullu amrin hakîm (di malam itu, dijelaskan [kepada malaikat] tiap-tiap perkara yang mengandung hikmah) (QS. Ad-Dukhan [44]: 4), dan kalimat min kulli amr (dari tiap-tiap perkara) dalam QS. Al-Qadr [97]: 4.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pesan pertama ini memberikan wejangan kepada para penguasa untuk mengatur bangsa ini secara serius dalam semua lini kehidupan; pendidikan, lapangan pekerjaan, kesehatan, keamanan dan kebudayaan. Fungsi manajemen juga harus dilakukan dengan baik dan maksimal, tidak sekadar formalitas dan dalam konteks menghabiskan anggaran. Jika pesan pertama ini dilakukan dengan baik, niscaya huru-hara dan carut marut kehidupan berbangsa dan bernegara tidak akan pernah terjadi di negeri ini.
Kedua, mengatur (memanage) hidup harus dilakukan secara periodik –minimal setahun sekali- dan berkesinambungan. Pesan ini tersirat dari ayat tanazzalul malâ’ikatu (QS. Al-Qadr [97]: 3). Menurut para mufasir, bentuk asli kata tanazzalu (turun temurun) adalah tatanazzalu, namun huruf tâ’ yang pertama dibuang untuk memudahkan bacaan. Jika demikian, maka tatanazzalu adalah fi’il mudhâri’ (present continuous tense), yang dalam kaedah bahasa Arab mengandung makna kekinian (al-hâdhir) dan kontinuitas (al-istimrâr). Dari pemahaman semacam ini, maka umat Islam dan seluruh lapisan bangsa, sejatinya diajak untuk terus serius dan komitmen mengatur kehidupan umat dan bangsa ini.
Ketiga, aturan, sistem dan manajemen yang ditetapkan harus berorientasi jangka panjang dan untuk kebaikan bersama. Ini adalah kesan dari ayat khairun min alfi syahrin (lebih baik dari seribu bulan) (QS. Al-Qadr [97]: 2). Jadi selama sistem yang digunakan masih berbasis pada kepentingan sesaat; kini-saat ini dan di sini, apalagi kepentingan kelompok dan orang perorang, maka sistem itu tidak akan membawa dampak signifikan bagi perbaikan kehidupan ini.
Keempat, peristiwa yang terjadi pada lailatul qadar –khususnya nuzulul Qur’an- mengajak kepada kita untuk me-nuzul-kan (menurunkan) Al-Qur’an ke dalam relung jiwa dan seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun sosial kenegaraan. Kata anzalnâ di awal surat Al-Qadr -yang menggunakan diksi anzala, yang berbentuk fi’il mâdhî (past tense)- menunjukkan bahwa penurunan Al-Qur’an ke dalam diri manusia itu harus dilakukan secara totalitas dan sungguh-sungguh. Dengan demikian, Al-Quran tidak lagi sekadar dirapal secara kuantitatif, tapi jauh di atas itu adalah bagaimana Al-Quran dapat berfungsi secara kualitatif pada hidup dan kehidupan ini. Berfungsi secara kualitatif mengandaikan pembacaan dan pengkajian yang begitu mendalam, kontinyu, terprogram dan pengejawantahan secara maksimal dalam keseharian.
Sementara me-nuzul-kan Al-Quran dalam konteks sosial kenegaraan berarti menjadikannya sebagai basis utama dalam menentukan regulasi dan kebijakan. Regulasi yang berbasis pada Al-Quran berarti regulasi yang pro rakyat, pro kepentingan bangsa, pro kaum dhu’afa, fakir miskin dan kaum marginal. Kebijakan yang Qur’ani berarti kebijakan yang berorienstasi dan mengedepankan nilai-nilai dasar, karakter dan jati diri kebangsaan, bukan pro asing, apalagi tunduk dan patuh pada keinginan mereka.
Kelima, peristiwa lailatul qadar juga mengajak kita untuk menyebarkan perdamaian dan kedamaian (salâm). Perdamaian dan kedamaian itu harus terus disebarkahattâ mathla’il fajr (hingga terbit fajar) (QS. Al-Qadr [97]: 5) berarti hingga (perdamaian dan kedamaian) itu termanifestasi dalam seluruh semesta alam, bagi semua makhluk ciptaan Tuhan, tanpa melihat perberdaan latarbelakang dan status sosial. Kata fajr di akhir ayat itu juga mengisyaratkan kedamian, kesejukan, keindahan dan kesentosaan. Carut marut kehidupan di berbagai belahan bumi Islam, khususnya di Indonesia belakangan ini, adalah bentuk penodaan terhadap visi salâm (perdamaian dan kedaiaman) yang dititahkan Tuhan dalam Al-Quran.
n umat Islam dan seluruh lapisan bangsa ini, hingga benar-benar mewujud dalam kehidupan seru sekalian alam. Secara sufistik, term
Dengan demikian, lailatul qadar bukanlah sekadar peristiwa biasa yang layak diperingati secara seremonial, tapi jauh di atas itu, lailatul qadar adalah peristiwa adiluhung dimana masa depan hidup dan kehidupan manusia ditentukan. Maka tak ada pilihan lain bagi kita semua, khususnya umat Islam Indonesia, kecuali menyebarkan perdamaian dan kedamaian di negeri ini. Tentu harus diawali dengan pemahaman yang mendalam dan semangat mencari serta mengisi malam lailatul qadar dengan amal saleh dan ibadah-ibadah individual maupun sosial. Wallahu A’lam.

M. Ulinnuha Husnan, Asdir Program Pascasarjana STAINU Jakarta Kajian Islam Nusantara
Read more ...
Designed By