SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG NAHDLATUL 'ULAMA KECAMATAN SEMIN GUNUNGKIDUL

Friday 18 July 2014

Pernyataan Gus Mus soal Konflik Palestina-Israel

Rembang, NU Online
Serangan brutal Israel yang menewaskan ratusan rakyat sipil Palestina telah mengundang simpati banyak pihak. Kecaman demi kecaman datang dari berbagai penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Sebagian umat Islam di Tanah Air bahkan menuding konflik ini bernuansa sentimen agama.

“Kita tidak bisa berpikir jernih, kita (seharusnya) membela Palestina bukan karena Palestina negara yang banyak pemeluk Islam, tetapi seharusnya kita membela Palestina karena nasib Palestina sama seperti Indonesia yang dahulu dijajah oleh Belanda,” ujar Pejabat Rais Aam PBNU KH A Mustofa Bisri.

Sehingga, reaksi yang dimunculkan pun seyogianya tidak berlandaskan pada asumsi adanya permusuhan antaragama. “Mereka seperti ketika Hadratus Syekh Hasyim Asya’ri memberikan fatwa wajib Jihad, bukan karena Belanda non-Islam, tetapi karena mereka dahulu penjajah,” tandas pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin ini.

Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini mengimbau kepada masyarakat Indonesia untuk tidak panik. Ia mengungkapkan bahwa penduduk Palestina tidak semuanya muslim, setengahnya adalah penganut Yahudi.

“Orang-orang mudah mengait-ngaitkan agama terkait persoalan konflik Palestina-Israel,” tuturnya saat ditemui NU Online dalam pengajian kitab Idhatun Nasyiin di Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, Ahad (13/7).

Selanjutnya, Gus Mus juga tidak setuju dengan aksi-aksi yang berlebihan dalam menyuarakan dukungannya kepada Palestina. “Wong-wong podo demo gowo bendara Laa ilaha illa Allah ngono yo lapo (Orang-orang pada demo pakai bendera Laa ilaha illa Allah itu untuk apa),” singgungnya.

Menurut Gus Mus, sikap umat Islam yang mudah panik atas sebuah tindakan di luar justru menunjukkan kelemahan diri sendiri. Akibatnya, muncul ketakutan atas apa saja, misalnya, yang berasal dari Barat. Itulah yang membuat Barat tahu kelemahan-kelemahan umat Islam.

“Sampai kita tidak sadar diadu domba oleh mereka, karena banyak dari umat Islam yang tidak paham,” katanya. (Muhammad Zidni Nafi’/Mahbib)
Read more ...

Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan

‘Tembok Berlin’ yang selama ini memisahkan Muhammadiyah dan NU membuat jarak yang cukup lebar. Tembok ini sejatinya bukanlah masalah yang besar, hanya saja tembok yang dimaksud adalah khilafiyyah pada masalah  furu’ yang sering menjadi kambing hitam persoalan dalam masyarakat muslim Indonesia. Sehingga pada kondisi-kondisi tentu kedua ormas tersebut nampak sulit untuk mencapai kata bersatu.

Ratusan juta orang yang bernaung dalam ormas Muhammadiyah dan NU barangkali bakal berubah dan tergugah seiring diterbitkannya buku “Muhammadiyah itu NU: Dokumen Fiqih yang Terlupakan”. Buku yang ditulis oleh Mochammad Ali Shodiqin ini benar-benar suara dari dalam Muhammadiyah sendiri, bukan intervensi atau kepentingan dari pihak-pihak tertentu.

Bahwa pada dasarnya, dulu Muhammadiyah itu sama persis dengan NU, demikian pula sebaliknya. Namun berita besar ini menyimpan dilema, sebab jika disampaikan akan menurunkan hujah fitnah yang dapat menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Kalau tidak disampaikan, seolah menggelapkan kebenaran yang sepatutnya didakwahkan kepada yang berhak. Jadi dilema ini bagaikan makan buah simalakama (hlm. 2).

Bermula ketika penulis mendapatkan kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 dari tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta. kemudian ia merasa terpanggil untuk menyampaikan sejarah tersebut, lalu  berinisiatif untuk menerbitkannya menjadi sebuah buku.

Kitab Muhammadiyah 1924, yang aslinya ditulis dengan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Bahasa Jawa memang tak bisa dihindari kalau membahas periode awal Muhammadiyah di pusat kebudayaan Jawa, yaitu Kesultanan Yogyakarta (hlm. vii).

Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924 sesungguhnya bukan hanya warisan berharga kaum Muhammadiyah saja, melainkan juga bagi NU. Kitab itu juga kitabnya NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU (hlm. 12). Masalahya hanyalah satu hal, bahwa di tahun 1924 itu, NU belum lahir, karena NU lahir tahun 1926. Dua tahun setelah kitab itu terbit. Dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang diajarkan kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di perairan Nusantara ini, yaitu fiqih mazhab Syafi’i. Jadi walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih, sebagaimana yang ada di dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 (hlm. 13).

Muhammadiyah adalah gerakan dakwah, yaitu menyampaikan ajaran Islam yang sudah ada kala itu di Kesultanan Yogyakarta yang menganut mazhab Syafi’i, bukan berdakwah dengan mengarang ajarannya sendiri dari mulai nol. Pertanyaan mengapa bisa demikian? Dalam buku ini dijelaskan bahwa setelah meninggalnya Kiai Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammmadiyah pada tahun 1912, generasi Muhammadiyah pada beberapa masa selanjutnya tercampur dengan paham Wahabi imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Ibnu Saud di negeri Arab pada saat itu. Untuk itu, pada tahun 1926 NU lahir untuk merespon pemerintahan yang membawa paham Wahabi tersebut.

Metamorfosis Muhammadiyah setidaknya dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu Masa Syafi’i tahun 1912-1925; masa pembauran Syafi’i-Wahabi tahun 1925-1967; masa Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tahun 1967-1995; dan masa pembauran HPT-Globalisasi tahun 1995 hingga kini (hlm. 16).

Penerbitan HPT cetakan ke-1 dilakukan oleh Kiai Badawi tahun 1967. Penerbitan HPT ini sekaligus memulai babak baru sejarah (tarikh tasyri’) fiqih Muhammadiyah yaitu pada masa Himpunan Putusan Tarjih. Hingga cetakan ke-4, yakni pada tahun 1974 di dalamnya memuat 9 buah putusan Muktamar Tarjih 1972 di Pekalongan yang memuat salah satunya adalah penghapusan qunut (hlm. 82). Tidak dimuatnya qunut ini dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan, sekaligus untuk perbaikan menurut putusan Muktamar Tarjih tahun 1972. Dengan demikian, seiring hilangnya keraguan dan adanya keyakinan umat serta kebiasaan shalat subuh tanpa qunut maka terhapus pula sejarah bahwa di masa lalu Muhammadiyah pernah melaksanakan qunut sebagaimana qunut-nya umat Islam lain (hlm. 119).

Masih banyak lagi hasil Himpunan Putusan Tarjih, di antaranya masalah menyentuh lawan jenis, niat membaca “ushalli”, shalawat tanpa Sayyidina, mengacungkan jari saat duduk tahiyat, zikir setelah salam, azan Jum’at satu kali, shalat ‘Id di lapangan, dan lain-lain.

Sementara itu, isi kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 memuat bab-bab ubudiyah, misalnya Bab Bersuci yang rinciannya meliputi persoalan air, najis, dan tata cara penyuciannya. Bab shalat yan cakupannya meliputi waktu shalat, rukun, sunnah, pembatalan. Bab Jama’ah yang membahas makruhnya jamaah, dan bab-babnya lainnya.

Guna menghadirkan cita rasa sejarah asli masa kiai Dahlan itu, bagi pembaca luar Jawa dan juga generasi Jawa masa kini yang sudah tidak nyambung dengan Jawanya. Maka buku ini disuguhkan dengan tidak  menghilangkan bahasa Jawa, melatinkan teks Arabnya, kemudian mengindonesiakannya. Jadi komposisi bahasa Jawa sekitar 20 persen, dan bukti keaslian ajaran Kiai Dahlan yang bertutur bahasa Jawa dalam kesehariannya.

Yang jelas, buku ini tujuannya bukan untuk menyalahkan satu sama lain. Namun untuk memadamkan api yang selama ini membakar jarak antara Muhammadiyah dan NU. Harapannya masing-masing dapat memahami perbedaan untuk melahirkan persatuan yang lebih erat bagi Indonesia.Judul : Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan

Penulis : Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit : Noura Books (PT. Mizan Publika)
Cetakan : I, Februari 2014
Tebal : xxii + 310 halaman
ISBN : 978-602-1306-01-1
Peresensi : Muhammad Zidni Nafi’, alumni Ma’had Qudsiyyah Kudus, Ketua CSS MORA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs) UIN SGD Bandung 2013-2014.
Sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,52970-lang,id-c,buku-t,Muhammadiyah+Itu+NU++Dokumen+Fiqih+yang+Terlupakan-.phpx
Read more ...

Seruan Rais Aam PBNU Jelang Pengumuman Hasil Pilpres 2014

Jakarta, NU Online
Pejabat Rais Aam PBNU KH A Mustofa Bisri mengajak segenap warga Indonesia bersyukur kepada Allah atas penyelenggaraan pilpres 2014 yang berlangsung tertib dengan besarnya partisipasi warga. Pemilihan pemimpin bangsa sebagai tahap awal dari nashbul imamah terlaksana dengan baik. Selanjutnya, tugas warga berdoa dan menanti hasil penghitungan KPU agar berjalan mulus tanpa gangguan.

“Dukungan semua pihak untuk KPU bekerja sesuai amanah konstitusi sangat dibutuhkan agar keputusannya menggambarkan apa adanya suara rakyat,” demikian seruan KH A Mustofa Bisri yang lazim disapa Gus Mus sebagai sikap PBNU pasca pilpres 2014, Kamis (17/7) pagi.

PBNU juga meminta kepada masing-masing Calon Presiden-Wakil Presiden berikut segenap pendukungnya untuk berbesar hati menerima secara tulus keputusan final KPU beberapa hari mendatang. “Mereka harus menampilkan sikap kenegarawan atas keputusan KPU,” terang Gus Mus.

Sementara tanggung jawab lembaga pers nasional dan lokal sendiri, Gus Mus mengimbau, ialah menyegarkan kembali kerukunan dan persatuan warga. PBNU berharap pers sebagai salah satu dari elemen bangsa dapat bekerja sesuai aturan kode etiknya dan itikad baik demi mewujudkan maslahat di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara untuk para pengurus NU di segala tingkatan, warga NU, dan terutama sekali para kiai NU, "Saya serukan untuk membantu pemulihan suasana masyarakat yang aman dan damai demi menjaga ukhuwwah wathaniyah dan keutuhan NKRI tercinta,” harap Gus Mus.

Terakhir Gus Mus juga berdoa agar "Allah SWT menurunkan ampunan, rahmat-Nya, serta memberikan kekuatan lahir dan batin kepada kita, bangsa Indonesia seutuhnya." (Alhafiz K)J
Read more ...

I'tikaf di Bulan Ramadhan

I’tikaf artinya berhenti (diam) di dalam masjid dengan syarat-syarat tertentu, semata niat beribadah kepada Allah.Pada dasarnya hukum I’tikaf adalah sunnah. I’tikaf merupakan ibadah yang dapat dikerjakan kapan saja tetapi harus di dalam masjid. Namun lebih afdhal dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Hal ini berdasar pada hadits Nabi:
عن أبي بن كعب وعائشة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله (رواه الشيخان)
Dari Ubay bin Ka’ab dan A’isyah, Rasulullah saw beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, hingga Allah menjemputnya (wafat).
Sebenarnya tidak ada keharusan beri’tikaf di malam hari, akan tetapi harapan dan semangat menunggu turunnya laylatul qadar-lah yang kemudian orang-orang berbondong-bondong melakukan I’tikaf malam hari. Hal ini sejalan dengan waktu luang yang tersedia di malam hari. Padahal tidak harus demikian, karena I’tikafpun sama dianjurkannya di siang hari bulan Ramadhan. (Red. Ulil H)
Read more ...
Designed By