Oleh M. Ulinnuha Husnan
--Ada baiknya sejenak kita tundukkan hati dan pikiran untuk
merenungkan keagungan lailatul qadar. Lailatul qadar adalah peristiwa
luar biasa dan penuh misteri. Banyak kejadian mahadahsyat yang
berlangsung di malam itu. Salah satunya yang paling fenomenal adalah
proses penurunan Al-Quran kepada Nabi Muahammad Saw. Data-data teologis
dan historis merekam kejadian itu (lihat misalnya QS. Al-Qadr [97]:1-5;
QS. Ad-Dukhân [44]: 4-5), sehingga tak ada tempat bagi umat manusia
untuk meragukan atau bahkan mendustakannya.
Kemahadahsyatan malam seribu bulan itu terlihat secara tekstual misalnya pada kata lailatul qadr
yang diulang sampai tiga kali dalam surat Al-Qadr. Karena status dan
kedudukannya yang begitu agung, tak berlebihan bila Rasul Saw kerap
memerintahkan kepada diri, keluarga dan umatnya agar selalu memperbanyak
amal saleh dan ibadah pada malam itu.
عن
عائشة رضي الله عنها قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر
الأواخر شدَّ مئزره، وأحيا ليله، وأيقظ أهله. رواه البخاري مسلم
Dari Aisyah, ia berkata bahwa Nabi Saw ketika memasuki sepuluh malam terakhir [di bulan Ramadhan], beliau mengencangkan perutnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Apa yang dilakukan Rasul Saw ini menunjukkan betapa banyak hikmah
dan rahasia di balik malam seribu bulan. Sehingga tidak saja dirinya
yang diajak untuk menghidupkan sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan,
tapi juga keluarganya. Hanya saja daya tangkap atas rahasia dan hikmah
itu tentu berbeda antara satu dengan yang lain, tergantung dari tingkat
kejernihan pikiran dan kesucian hati seseorang.
Hikmah Kekinian Lailatul Qadar
Dalam konteks kekinian, sejatinya banyak hikmah, pesan dan pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa lailatul qadar. Pertama,
lailatul qadar mengajarkan kepada kita tentang pentingnya fungsi
manajeman hidup yang -menurut Henri Fayol (1841–1925 M)- meliputi
perencaan (planning), pengorganisasian (organizing), dan pengawasan (controlling) dan evaluasi (evaluating). Pesan ini terinspirasi dari pemahaman atas makna dasar term lailatul al-Qadr
yang berarti malam penentuan/ketetapan (takdir). Menurut pemahaman ini,
maka pada malam itulah Allah “merencanakan”, “mengorganisasikan”,
“mengawasi” sekaligus “mengevaluasi” tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)
serta hak seluruh umat manusia. Inilah kesan yang tersirat dari firman
Allah; fîhâ yufraqu kullu amrin hakîm (di malam itu, dijelaskan [kepada malaikat] tiap-tiap perkara yang mengandung hikmah) (QS. Ad-Dukhan [44]: 4), dan kalimat min kulli amr (dari tiap-tiap perkara) dalam QS. Al-Qadr [97]: 4.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pesan pertama
ini memberikan wejangan kepada para penguasa untuk mengatur bangsa ini
secara serius dalam semua lini kehidupan; pendidikan, lapangan
pekerjaan, kesehatan, keamanan dan kebudayaan. Fungsi manajemen juga
harus dilakukan dengan baik dan maksimal, tidak sekadar formalitas dan
dalam konteks menghabiskan anggaran. Jika pesan pertama ini dilakukan
dengan baik, niscaya huru-hara dan carut marut kehidupan berbangsa dan
bernegara tidak akan pernah terjadi di negeri ini.
Kedua, mengatur (memanage) hidup harus
dilakukan secara periodik –minimal setahun sekali- dan berkesinambungan.
Pesan ini tersirat dari ayat tanazzalul malâ’ikatu (QS. Al-Qadr [97]: 3). Menurut para mufasir, bentuk asli kata tanazzalu (turun temurun) adalah tatanazzalu, namun huruf tâ’ yang pertama dibuang untuk memudahkan bacaan. Jika demikian, maka tatanazzalu adalah fi’il mudhâri’ (present continuous tense), yang dalam kaedah bahasa Arab mengandung makna kekinian (al-hâdhir) dan kontinuitas (al-istimrâr).
Dari pemahaman semacam ini, maka umat Islam dan seluruh lapisan bangsa,
sejatinya diajak untuk terus serius dan komitmen mengatur kehidupan
umat dan bangsa ini.
Ketiga, aturan, sistem dan manajemen yang
ditetapkan harus berorientasi jangka panjang dan untuk kebaikan bersama.
Ini adalah kesan dari ayat khairun min alfi syahrin (lebih
baik dari seribu bulan) (QS. Al-Qadr [97]: 2). Jadi selama sistem yang
digunakan masih berbasis pada kepentingan sesaat; kini-saat ini dan di
sini, apalagi kepentingan kelompok dan orang perorang, maka sistem itu
tidak akan membawa dampak signifikan bagi perbaikan kehidupan ini.
Keempat, peristiwa yang terjadi pada lailatul qadar –khususnya nuzulul Qur’an- mengajak kepada kita untuk me-nuzul-kan (menurunkan) Al-Qur’an ke dalam relung jiwa dan seluruh aspek kehidupan, baik pribadi maupun sosial kenegaraan. Kata anzalnâ di awal surat Al-Qadr -yang menggunakan diksi anzala, yang berbentuk fi’il mâdhî (past tense)-
menunjukkan bahwa penurunan Al-Qur’an ke dalam diri manusia itu harus
dilakukan secara totalitas dan sungguh-sungguh. Dengan demikian,
Al-Quran tidak lagi sekadar dirapal secara kuantitatif, tapi jauh di
atas itu adalah bagaimana Al-Quran dapat berfungsi secara kualitatif
pada hidup dan kehidupan ini. Berfungsi secara kualitatif mengandaikan
pembacaan dan pengkajian yang begitu mendalam, kontinyu, terprogram dan
pengejawantahan secara maksimal dalam keseharian.
Sementara me-nuzul-kan Al-Quran dalam konteks sosial
kenegaraan berarti menjadikannya sebagai basis utama dalam menentukan
regulasi dan kebijakan. Regulasi yang berbasis pada Al-Quran berarti
regulasi yang pro rakyat, pro kepentingan bangsa, pro kaum dhu’afa,
fakir miskin dan kaum marginal. Kebijakan yang Qur’ani berarti kebijakan
yang berorienstasi dan mengedepankan nilai-nilai dasar, karakter dan
jati diri kebangsaan, bukan pro asing, apalagi tunduk dan patuh pada
keinginan mereka.
Kelima, peristiwa lailatul qadar juga mengajak kita untuk menyebarkan perdamaian dan kedamaian (salâm).
Perdamaian dan kedamaian itu harus terus disebarkahattâ mathla’il fajr
(hingga terbit fajar) (QS. Al-Qadr [97]: 5) berarti hingga (perdamaian
dan kedamaian) itu termanifestasi dalam seluruh semesta alam, bagi semua
makhluk ciptaan Tuhan, tanpa melihat perberdaan latarbelakang dan
status sosial. Kata fajr di akhir ayat itu juga mengisyaratkan
kedamian, kesejukan, keindahan dan kesentosaan. Carut marut kehidupan di
berbagai belahan bumi Islam, khususnya di Indonesia belakangan ini,
adalah bentuk penodaan terhadap visi salâm (perdamaian dan kedaiaman) yang dititahkan Tuhan dalam Al-Quran.
n umat Islam dan
seluruh lapisan bangsa ini, hingga benar-benar mewujud dalam kehidupan
seru sekalian alam. Secara sufistik, term
Dengan demikian, lailatul qadar bukanlah sekadar peristiwa biasa yang
layak diperingati secara seremonial, tapi jauh di atas itu, lailatul
qadar adalah peristiwa adiluhung dimana masa depan hidup dan kehidupan
manusia ditentukan. Maka tak ada pilihan lain bagi kita semua, khususnya
umat Islam Indonesia, kecuali menyebarkan perdamaian dan kedamaian di
negeri ini. Tentu harus diawali dengan pemahaman yang mendalam dan
semangat mencari serta mengisi malam lailatul qadar dengan amal saleh
dan ibadah-ibadah individual maupun sosial. Wallahu A’lam.
M. Ulinnuha Husnan, Asdir Program Pascasarjana STAINU Jakarta Kajian Islam Nusantara
No comments:
Post a Comment