oleh: Prof. Dr. H M Ishom Yusqi, MA (Wakil Sekretaris Jenderal PP ISNU)
Di
bulan suci Ramadhan seringkali kita mendengarkan kajian-kajian hikmah
seputar ibadah puasa. Biasanya ibadah puasa dianalisis secara deduktif
dari al-Qur’an maupun al-Hadis, sehingga memunculkan dan melahirkan
beberapa aspek hukum yang terkait dengan puasa.
Namun tidak jarang juga para penceramah meninjau ibadah puasa dalam
berbagai perspektif dan dianalisis secara induktif dari korelasi dan
signifikansi puasa dengan kehidupan sehari-hari umat Islam saat
menjalankannya. Misalnya, ada yang mengkaji aspek-aspek kesehatan yang
ditimbulkan dalam ibadah puasa. Ada juga para ustadz yang menyampaikan
hikmah-hikmah puasa dalam sudut pandang spiritualitas, sosialitas,
kesehatan jiwa umat manusia dan lain sebagainya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengelaborasi lebih jauh tentang manifestasi nilai-nilai Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah)
dalam ibadah puasa. Hal ini dirasa penting karena kita sebagai kaum
Nahdliyiin (baca: warga NU) perlu menyadari bahwa nilai-nilai Aswaja
harus benar-benar inheren dan terinternalisasi dalam setiap pribadi
orang NU. Antara NU dan aswaja merupakan satu kesatuan yang utuh dan
tidak terpisahkan. Aswaja merupakan akidah bagi orang NU di mana dan
kapan saja berada.
Sebagai warga NU, jika tanpa akidah Aswaja tentu ke-NU-annya hanya
nama dan topeng belaka. Eksistensi NU, Aswaja dan Tanah Air Indonesia
(baca ; nusantara) adalah tiga serangkai yang saling terkait dan
berkelindan satu dengan lainnya. NU merupakan ormas terbesar yang
diikuti oleh mayoritas umat Islam di wilayah NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) dengan berdasarkan pada akidah Aswaja.
Dengan demikian, mayoritas Islam Indonesia (baca ; Islam Nusantara)
adalah Islam Aswaja, dan Islam Aswaja tercermin jelas pada Islam NU,
Islam NU adalah Islamnya orang-orang Indonesia yang menganut paham
Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah) yang selalu berprinsip pada nilai-nilai dasarnya yaitu ; al-Tawazun (bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat) ,al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran).
Keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja di atas merupakan empat
pilar warga NU dalam ber-aswaja (ber-Islam), berbangsa dan bernegara.
Empat pilar al-Tawazun (bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat) ,al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak
pada kebenaran) sama sekali tidak bertentangan dengan empat pilar
bangsa Indonesia ; Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika,
bahkan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja warga NU tersebut
selalu menafasi dan menopang terhadap empat pilar bangsa Indonesia. Hal
itu, sudah terbukti dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, baik pada
pra-kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan bahwa warga NU selalu berada
pada garda terdepan dalam membela Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika secara istiqomah dengan tetap berprinsip pada nilai-nilai
dasar Aswaja.
Keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja ; al-Tawazun (bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak
pada kebenaran) merupakan metode berfikir yang paripurna bagi warga NU
dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.
Berpijak pada keempat prinsip itulah warga NU menjalankan ajaran
Islam, berbangsa dan bernegara Indonesia, hidup berdampingan dengan umat
beragama lain dan bersikap toleran baik antar umat beragama dan intern
umat Islam. Dengan keempat prinsip dan nilai-nilai dasar Aswaja
tersebut, para ulama NU menyatakan, “resolusi jihad melawan penjajah,
Indonesia merdeka berkat rahmat Allah, NU menerima asas tunggal
Pancasila, Hubungan Islam dan NKRI sudah final dan tidak perlu lagi
membentuk negara Islam, NU kembali ke Khittah dan lain sebagainya.
Kembali pada manifestasi nilai-nilai Aswaja dalam ibadah puasa di
bulan suci Ramadhan jika kita renungkan lebih mendalam, maka sangat
terasa nilai-nilai al-Tawazun (bertindak seimbang), at-Tawassuth (berprilaku moderat), al-Tasamuh (bersikap toleran) dan al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) terinternalisasi pada pribadi-pribadi orang yang berpuasa (al-sha-imiin dan al-sha-imaat).
Pertama; al-Tawazun (bertindak seimbang)
Dalam ibadah puasa nilai-nilai al-Tawazun (bertindak
seimbang) tercermin sekali pada aspek-aspek mental-spiritual,
fisik-psikis dan sosial kemasyarakatan. Pada aspek mental-spiritual
pribadi manusia yang berpuasa dilatih keseimbangan rohani dan jasmani.
Artinya dengan berpuasa manusia diingatkan agar tidak terlalu berat
sebelah dan cenderung berlebihan pada hal-hal material yang berakibat
tergrogoti nilai-nilai kemanusiaannya (dehumanisasi).
Jiwa dan pikiran manusia tidak boleh terfokus terlalu jauh hanya
mengejar duniawi (harta, tahta dan wanita) sehingga menimbulkan
penyakit-penyakit hati (baca; psikis) seperti tamak-serakah, sombong,
hedonis, matrialistis, cinta jabatan (hubbul manzilah), cinta popularitas (hubbus syuhrah), cinta kedudukan terpuji (hubbul Jah) dan lain sebagainya. Agar pribadi manusia seimbang secara jasmaniyah wa rohaniyah dan tidak mengalami keterbelahan jiwa (split personality), manusia yang berpuasa dilatih mental-spiritualnya untuk rendah hati (tawadhu’), cinta akherat, cinta ilmu dan selalu bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan Allah SWT.
Sedangkan pada aspek fisik-psikis termanifestasi secara gamblang
bahwa pada saat manusia berpuasa otak secara otomatis akan menghidupkan
program autolisis. Semua makhluk hidup dibekali sistem (fitrah)
autolisis yang khas seperti saat pohon berpuasa sistem autolisisnya
bekerja dengan menggugurkan dedaunan.
Ketika autolisis manusia diaktifkan saat berpuasa, maka ia akan
mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel
manusia, dibagian tubuh mana seharusnya sel itu berada dan berapa banyak
jumlahnya bagi tubuh sehat yang ideal. Autolisis akan meng-oksidasi
lemak menjadi keton dan menghilangkan sel-sel rusak dan mati,
menghilangkan benjolan hingga tumor serta timbunan lemak yg sering
menjadi sarang zat beracun. Dengan demikian tubuh manusia menjadi
seimbang dan sehat wal afiat saat mereka benar-benar berpuasa.
Keseimbangan (al-Tawazun) pada aspek sosial kemasyarakatan
juga akan terjadi pada orang-orang yang berpuasa. Saat berpuasa
ketimpangan sosial akan segera dieliminir dengan digalakkannya shodaqoh,
infak dan zakat yang menimbulkan rasa kepedulian sosial.
Manusia-manusia kaya akan ikut juga merasakan bagaimana laparnya
orang-orang faqir miskin. Kehidupan sosial kemasyarakatan menjadi
seimbang karena kesalehan individual dan kesalehan sosial berpadu
menjadi satu.
Kedua ; at-Tawassuth (berprilaku moderat)
Sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrem adalah at-Tawassuth
(berprilaku moderat). Ibadah puasa merupakan sikap tengah-tengah antara
materialisme ekstrim dengan mengabaikan dimensi spiritual-rohaniah
dalam kehidupan manusia sehingga bersikap hedonis, atheis dan
materialistis tidak perlu berpuasa dan berlapar-lapar diri sepanjang
tahun.
Dan yang kedua sikap spriritualisme ekstrem yang tidak bersikap adil
terhadap aspek-aspek jasmaniah sehingga berpuasa sepanjang tahun (shoum ad-Dahr), sambil mengabaikan hak-hak tubuh, keluarga dan masyarakat. Sikap at-Tawassuth
(berprilaku moderat) pada orang orang yang berpuasa mengejawantah pada
pribadi dan masyarakat dengan sikap yang tenang, tentram, adil dan
sejahtera.
Ketiga; al-Tasamuh (bersikap toleran)
Ajaran at-Tasamuh mengandung makna bersikap toleransi,
saling menghargai, lapang dada, suka memaafkan dan bersikap terbuka
dalam menghadapi perbedaan, kemajemukan dan pluralitas. Prinsip ketiga
dari nilai dasar Aswaja ini sangat terlihat jelas pada pribadi
orang-orang yang berpuasa. Misalnya, Adanya perbedaan penetapan awal
Ramadhan, warga NU dan umat Islam Indonesia mensikapi hal itu dengan
penuh toleran, saling menghargai dan bersikap lapang dada. Kedua,
perbedaan jumlah rakaat shalat taraweh juga disikapi seperti di atas.
Bahkan sikap toleran itu harus ditunjukkan oleh seorang muslim yang
terhormat dengan menghormati orang yang tidak berpuasa, demi saling
menghargai dan menghormati. Nilai al-Tasamuh (bersikap
toleran) bagi warga NU Aswaja tersebut sudah mendarah daging dalam
setiap kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Tidak sekedar pada
saat bulan puasa, bahkan di luar bulan ramadhan pun Islam NU tetap
mengimplementasikan nilai-nilai Islam Aswaja yang nota bene Islam
Indonesia.
Keempat: al-I’tidal (berpihak pada kebenaran)
Ajaran al-I’tidal (berpihak pada kebenaran) merupakan sikap yang adil dan konsisten pada hal-hal yang lurus, benar dan tepat. Nilai al-I’tidal (berpihak
pada kebenaran) dalam ibadah puasa termanifestasi dengan jelas bahwa
secara spiritual berpuasa merupakan sikap yang adil dan konsisten pada
olah kesucian rohani, dan berpuasa merupakan ibadah ilahiyah yang
tertuju khusus dan terfokuskan hanya karena dan untuk Allah SWT bukan
untuk selain-NYA.
Dalam ibadah puasa manusia konsisten mensucikan diri untuk
mendekatkan ruhnya kepada yang Maha Suci. Manusia saat berpuasa selalu
memuji Allah SWT (bertahmid ) dan membesarkan nama Allah SWT (bertakbir) untuk melepaskan dirinya dari pujian-pujian yang pada hakekatnya pujian itu hanya milik Allah SWT
Begitu juga dengan takbir, manusia hanya ingin membesarkan nama Allah
SWT bukan ingin membesarkan dan mengagungkan uang, harta, tahta dan
materi duniawi yang tidak kekal abadi. Bertitik tolak dari konsistensi
nilai-nilai ilahiyah (al-i’tidal) tersebut maka pasti berdampak
positif pada sikap yang adil dan konsisten terhadap diri manusia
sendiri, keluarga dan masyarakat demi menjadikan pribadinya yang sholeh
secara individual dan sekaligus sholeh secara sosial. Selain itu,
berakibat baik juga dalam menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah dan
rahmah, serta mewujudkan masyarakat/negaranya yang ber-keadilan sosial
bagi masyarakat (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
sumber: nu.or.id
No comments:
Post a Comment