SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI MAJELIS WAKIL CABANG NAHDLATUL 'ULAMA KECAMATAN SEMIN GUNUNGKIDUL

Tuesday 14 April 2015

Antara "Aku" dan "Kita" ada Jembatan Cinta

Oleh Mh Nurul Huda* Kala belajar di Madrasah Tsanawiyah, sekitar 5 kilometer jarak yang penulis tempuh dulu dari tempat tinggal. Perjalanan itu melewati sebuah jembatan yang lumayan mengerikan. Berada di jalur kereta api peninggalan Belanda, yang hingga saat itu masih dimanfaatkan sebagai jalur pengangkut kayu jati gelondongan yang ditebas dari tengah hutan.

Penulis perlu ekstra hati-hati benar melewati jembatan itu, karena tapak permukaan jalan yang dilalui hanya berupa tatal-tatal kayu yang ditata seadanya dan dipaku melintang di atas penyangga besi diantara dua sisi rel kereta. Sedikit saja lengah atau kurang keseimbangankhususnya di musim hujan, bukannya sampai ke tempat tujuan malahan sebaliknya si pejalan kaki dan pengendara bisa terpeleset jatuh ke dasar sungai dari ketinggian sekitar 20 meteran.

Kenyataan serupa, barangkali, tak hanya dialami oleh diri penulis sendiri, sehingga ia kurang lebih mewakili suatu pengalaman bersama. Karena itu kita lalu mengelus dada bila masih ada saja jembatan buruk yang terpaksa dilalui oleh anak-anak madrasah kita.

Sungguh-sungguh, jembatan bukanlah hal yang bisa disepelekan. Boleh saja jembatan dianggap sekadar penghubung dua wilayah/daratan yang terpisah oleh sungai, jurang atau selat antar dua pulau. Tapi, bagi para penggunanya, sarana itu amatlah terkait dengan banyak hal: yakni imajinasi tentang, dan kemudahan akses terhadap, pengetahuan, dunia, cita-cita, kehidupan dan kemungkinan-kemungkinan baru.

Sebagaimana jembatan-jembatan yang lain, ia hanya mungkin dibangunbila ada pikiran atau kesadaran bersama (misalnya pemerintah bersama masyarakat setempat) tentang harapan, fungsi dan tujuan perlunya jembatan itu. Lalu para insinyur mewujudkan harapan pikiran itu berdasarkan kondisi nyata (real) alam setempat.

Kita rasanya tidak lupa, Bung Karno menyebut kemerdekaan Republik sebagai “jembatan emas”. Dan Republik baru itu didasarkan pandangan Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai “jembatan filosofis” yang mempersatukan elemen-elemennya yang beragam. Lain lagi Tan Malaka, ia menggunakan “jembatan keledai” buat memudahkannya dalam mengingat.

Dan Kiai Achmad Siddiq telah membangun“jembatan sosiologis”bagi kehidupan jama’ah NU untuk mempererat tali hubungan sosial. Disebutnya trilogi hubungan, jembatan itu berupaukhuwah Islamiyah (hubungan persaudaraan antarumat Islam), ukhuwah basyariyah/insaniyah (hubungan persaudaraan antar umat manusia), dan ukhuwah wathaniyah (hubungan persaudaraan antarnegara dan bangsa).

Sekitar abad ke-3 H, kita sulit membayangkan suatuepisode peradaban Islam yang kosmopolit muncul, bila tak ada “jembatan” yang bernama: gerakan penerjemahan. Hunain bin Ishak yang beragama Kristen, Tsabit bin Qurrah yang Zoroaster dan lalu memeluk Islam, dan Ibnu Al-Muqaffa’ adalah para penerjemah ulung nan tangkasdengan horizon kebahasaan dan wawasan yang luas. Mereka mengalihbahasakan karya-karya besar berbahasa Yunani, Suryani, Pahlavi dan Sanskrit ke dalam bahasa Arab, sedemikian rupa sehingga menjembatani lahirnya bentuk-bentuk pengetahuan baru ke dalam perspektif Islam. Lahirlah Al-Farabi (Alpharabius), Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Rusyd (Averroes), selain sufi juga filosof-ilmuwan sejati, yang pengetahuan luasnya merambah aneka bidang: metafisika, logika, etika, kosmologi, matematika, geografi, kedokteran, astronomi dan lainnya. Selanjutnya para penterjemah-penafsir dan sekaligus filosof muslim ini pula yang menjembatani abad renaisans di Eropa dalam wajahnya yang berbeda.

Ini semua menyakinkan kita betapa pentingnya arti “jembatan” dalam kehidupan. Entah itu berupa jembatan penghubungantar lokasi terpisah, antar generasi, antar masyarakat, atau antara masa lalu, masa kini dan masa depan.

Jembatan itu mestilah juga kokoh, bukan jembatan goyang yang labil setiap saat. Paling tidak ia diyakini kokoh oleh para ahli dan dipercayai demikian oleh publik luas. Tak perlulah satu persatu orang mengecek dan mengukur kekokohan itu, setiap jam dan harinya, sepanjang ia diyakini menyediakan kepastian dan terbukti tahan banting. Begitulah kiranya yang dipahami oleh penulis kolom ini tentang keharusan adanya keyakinan dan kepercayaan bersama yang sifatnya fondasional.

Di antara dua dunia, jembatan menjadi penghubung. Katakanlah penghubung antara “yang nyata” dan “yang seharusnya”, antara yang real dan yang ideal, antara “aku” dan “kita”, antara ego dan solidaritas bersama. Oleh karena apa yang real bukanlah yang ideal dan apa yang ideal bukanlah yang real, maka keberadaan jembatan dibutuhkan. Dan oleh sebab yang real dan yang ideal itu tidak bisa diatribusikan kepada subjek masalahyang sama di dalam konteks yang sama pula, maka jembatan itu bentuknya bisa berbeda-beda.

Tapi,sebetulnya, ada kesamaan di antara jembatan-jembatan dalam kehidupan. Ia ada dan hadir, karena gerak sejarah kehidupan adalah sebuah tarikan kerinduan --sebuah kerinduan “aku” yang real kepada “kita” yang ideal.Gerak ini, bukanlah perang terhadap yang real itu sendiri, melainkan perjuangan kolektif melawan keterbatasan-keterbatasan dalam mewujudkan yang ideal.

Dengan kata lain, keterbatasan karena halangan pergerakan yang real menuju yang ideal, yang mencegah “aku” menyatukan diri dengan “kita” haruslah dijembatani. Dan kiranya tak ada jembatan yang kokoh dalam diri selain memori, kehendak, tanggung jawab dan cinta. Merekalah yang memanggil “aku” menuju “kita”, menarik yang real menuju yang ideal, mendorong yang potensial menuju aktual.

Walhasil, jarak yang memisahkan antara kedua belah pihak bukan diatasi oleh kebenciandan permusuhan yang bakal memakan tubuhnya sendiri melainkan oleh gerak terus menerus dalam dialektika cinta.Sebabdalamgeraksejarah“aku” dan “kita”, ada jembatan cinta.(Wallahua’lambisshowab].

MH Nurul Huda, Dosen STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyah Jakarta

Esai ini penulis persembahkan secara khusus untuk Kiai Husein Muhammad karena bagian tertentu dalam esai ini ditimba darinya.

No comments:

Post a Comment

Designed By